8 Jun 2012

Jalan-Jalan Kelenteng Gondomanan (2)

KELENTENG GONDOMANAN
MENJELAJAH LEBIH DALAM VIHARA BUDHA PRABHA


Vihara Buddha Prabha atau Kelenteng Fuk Ling Miau atau Kelenteng Gondomanan, pada awalnya bernama Hok Ling Miau, konon merupakan hadiah dari Sultan Hamengku Buwono II kepada permaisurinya yang berasal dari negeri tiongkok.
Kata Fuk berarti berkah, sedangkan kata Ling berarti tiada tara (tak terhingga), dan Miau berarti kuil atau kelenteng. Jadi, Fuk Ling Miau adalah kelenteng yang diberi nama kelenteng berkah tiada tara. Tuan rumah kelenteng ini adalah Dewa Amurwa Bhumi.

Sejarah dan Perkembangan KelentengGondomanan

Tahun 1797 – 1971
Selama ratusan tahun, kelenteng ini tidak pernah dikunjungi. Bangunan menjadi tak terawat, dikelilingi rerumputan yang tinggi. Meski bangunan masih kokoh, namun isinya porak poranda. Tidak ada altar, lilin, dupa, maupun peralatan sembahyang lainnya. Kondisi juga sangat kotor dan memprihatinkan. Dindingnya hitam dan banyak yang keropos. Lantainya rusak dan atapnya bocor. Tidak dilengkapi dapur, kamar mandi, atau wc. Sulit mendapatkan air, apalagi air bersih.

Tahun 1971 – 1978
Pada tahun 1971, kelenteng ‘ditemukan’ kembali oleh Pakme Santoso, Pakme Hu Lan, dan Suhu Ting Ling dalam kondisi memprihatinkan. Kelenteng tidak terlihat seperti tempat ibadah. Sebuah bangunan kuno yang tidak pernah dikunjungi orang selama ratusan tahun lamanya. Bangunannya masih kokoh, tetapi warna tonggak bangunan dan atap kelenteng yang khas sudah pudar ditelan sinar matahari. Temboknya, pintunya, tiangnya, rupa dewanya, semuanya rusak total. Ruangan juga dipenuhi berbagai sampah.
Kedua Pakme dan Suhu merasa terpanggil untuk menjayakan kembalil kelenteng ini. Terutama, Pakme Santoso ia menyuruh kuli bangunan pergi ke kelenteng, membabat rumput-rumput, membersihkan & membuang sampah, dan menimbun lumpur yang dalamnya selutut sedikit demi sedikit. Setelah mulai bersih, Pakme Santoso memimpin para kuli & tukang untuk merenovasi bangunan setiap hari. Pakme Santoso tidak berani mengubah bentuk aslinya, hanya menggantikan yang rusak ke bentuk semula.
Semua altar dicat ulang. Pakme Santoso mulai melakukan pengapuran dinding, karena sebelumya dinding berwarna hitam akibat asap. Halaman parkir diubin untuk mempermudah umat memarkirkan kendaraannya. Pakme Santoso mengganti ubin lantai. Dinding juga diberi ubin hingga kelihatan bersih. Kamar mandi hanya ada dua, satu untuk anggota Sangha, dan satu lagi untuk umat awam. Kemudian, Pakme Santoso membuat kamar mandi darurat dan menggali sumur. Airnya dimanfaatkan untuk keperluan vihara, dan dipakai juga oleh para pedagang yang berjualan di sekitar vihara.
Sesuai dengan tradisi yang ada, mereka selalu meminta izin kepada pemilik kelenteng Phak Kung atau Hok Ten Tjing Sing, karena akan menata kembali rumahnya. Setelah kelenteng dapat sedikit difungsikan, Pakme Santosa dan para umat (yang saat itu masih sedikit) melakukan Liam Keng atau puja bakti secara Mahayana. Kemudian, Bhante Ashin Jinarakkhita (pelopor kebangkitan agama Buddha di Indonesia) memutuskan melakukan sembahyang pertama yang dilakukan pada tanggal 26 imlek, sekitar tahun 1975. Tanggal tersebut kemudian selalu diperingati dengan melakukan tradisi sembahyang – yang terus dijalankan hingga saat ini.
Pada masa tersebut hampir seluruh pengusaha besar masih sembahyang ke kelenteng sehingga proses renovasi kelenteng ini terbantu secara finansial. Uang yang disumbangkan para umat langsung dijadikan barang. Renovasi kelenteng memakan waktu cukup lama karena masalah keuangan. Renovasi kelenteng digantungkan dari ada tidaknya donatur. Pada saat proses renovasi, Pakme Santoso mendapat dukungan dari tokoh masyarakat di Yogyakarta diantaranya, Bapak Tirtowinoto, Bapak Arwan Santoso, Bapak Onggo Hartono, dan lain-lain. Bapak Tirtowinoto, saat itu berperan sebagai pelindung kelenteng.

Tahun 1978 – 1987
Pada tahun 1978, gambar-gambar yang menceritakan tentang Kerajaan China pada tembok vihara dicat ulang. Pakme Santoso membayar para pelukis untuk membuat gambar tersebut seperti aslinya. Hal ini dilakukan untuk melestarikan gambar aslinya. Gambar yang dilukis semuanya ada 180 gambar dan menghabiskan dana sekitar 2 juta rupiah (pada saat itu). Cerita bergambar ini menjadi salah satu simbol dan daya tarik tersendiri bagi orang yang mengunjungi Vihara Buddha Prabha – terutama turis domestik maupun mancanegara.
Konstruksi awal vihara tidak memberikan kenyamanan kepada para umat yang bersembahnyang pada saat Ce It dan Cap Go. Asap dupa berkumpul di dalam vihara, tidak ada sirkulasi udara yang baik sehingga membuat mata pedih dan membuat sesak pernafasan. Oleh karena itu, Pakme Santoso kemudian membuat konstruksi baru dengan sistem atao ‘buka – tutup’. Atap tersebut dapat dibuka ketika ada upacara besar sehingga asapnya tidak mengumpul dalam ruangan, dan ditutup ketika tidak dibutuhkan.
Pada tahun 1984, tepatnya pada tanggal 8 April 1984 berdiri sebuah organisasi kepemudaan dengan nama Generasi Muda Cetiya Buddha Prabha. Anggotanya mayoritas adalah mahasiswa buddhis. Organisasi ini memegang peranan penting terhadap vihara ini.

Tahun 1987 – 2001
Kemajuan vihara sangat pesat, namun masih satu tugas lagi yang belum terselesaikan oleh Pakme Santoso yaitu hal kepemilikan tanah dan bangunan yang terletak di sekitar vihara. Tanah tersebut tidak memiliki sertifikat dan IMB, tetapi karena telah ditempati dalam waktu lama dapat dianggap manjadi hak milik. Pakme Santoso tidak mampu mengambil tanah tersebut.
Setelah melewati beberapa tangan dan perundingan yang panjang dan melelahkan, akhirnya penghuni lama bersedia melepas sebagian dari tanah yang ada di belakang. Tanah tersebut kemudian diganti oleh pihak vihara sebesar Rp. 35 juta, mengingat jasa orang yang telah merawat kelenteng ini sebelumnya.
Sebenarnya, tanah tersebut merupakan satu kesatuan dengan kelenteng. Meski demikian, untuk menghindari dari hal-hal yang merugikan, pihak vihara memberikan ganti rugi walaupun tanpa surat apapun karena lokasi vihara masih dalam lingkungan Keraton Ngayogyakarta. Hal tersebut kemudian hanya dilaporkan ke kantor Badan Pertanahan dan Pemda Tingkat II.
Tanah yang di-klaim oleh vihara adalah dari samping depan pagar vihara sampai ke belakang, tetapi baru yang di belakang yang dibebaskan. Tanah yang dibebaskan kemudian dibangun dengan bangunan baru 2 lantai. Lantai bawah digunakan sebagai ruang serbaguna, gudang, dan kamar mandi. Sedangkan lantai atasnya digunakan sebagai ruang bhakti sala kecil. Meski dibangun dua lantai, namun bangunan baru ini tidak melebihi tinggi bangunan induk (kelenteng). Pada saat yang sama, seluruh bangunan dicat ulang. Ubin keramik pada bangunan induk kelenteng yang semula berukuran 40x40x1cm diganti dengan ukuran 50x50x1cm.

Tahun 2002 – sekarang
Kondisi fisik bangunan masih terpelihara dengan baik. Gempa yang melanda Yogyakarta pada 27 Mei 2006 mengakibatkan beberapa bagian vihara mengalami kerusakan, tetapi tidak parah. Tanggal 7 Juni 2006 mulai diadakan pengecatan pada semua bagian vihara.

Arsitektur Bangunan Kelenteng Gondomanan

Fisik bangunan kuno Kelenteng Gondomanan merupakan kombinasi arsitektur China – Jawa. Arsitektur China mendominasi gaya bangunan kelenteng. Terdapat patung, dewa, tulisan, dan gambaran alam negeri China. Arsitektur bernuansa Jawa terdapat pada bagian atap ruang sumur langit.

Ciri khas Kelenteng Gondomanan terdapat pada sepasang naga langit menghadap mutiara api dan memiliki altar/pavilion dewa–dewi. Dominasi warna merah dan kuning simbol keharmonisan. Keistimewaan Kelenteng Gondomanan ada pada lapangan terbuka dimana terdapat sepasang pagoda api. Bagian pagar terdapat 8 tiang dewa. Bagian serambi terdapat 2 tiang naga muda bersama 8 dewa.






Usia bangunan Kelenteng Gondomanan sudah mencapai 200-an tahun. Maka tak heran, Kelenteng Gondomanan menjadi Bangunan Cagar Budaya (BCB) – kategori tempat ibadah. BCB Warisan Budaya Yogyakarta – Kelenteng Gondomanan dikukuhkan pada tanggal 15 April 1999.

Karya Seni Kuno Kelenteng Gondomanan
  1. Tiang pagar berjajar 8 – memiliki arti bahwa kelenteng berada di bawah lindungan 8 dewa.
  2. Pagoda Api – berfungsi sebagai tempat pembakaran kertas sembahyang. Maknanya bahwa, konon dahulu dipakai untuk penjara, hukuman para dewa dan siluman.
  3. Sepasang tiang naga muda bersama 8 dewa – menunjukkan kekokohan bangunan kelenteng dijaga oleh 8 dewa dan sepasang naga (asli dipahat dari sebuah batu besar).
  4. Singa berbulu emas – merupakan simbol kebuasan dan keberanian.
  5. Sepasang anak dewa menunggang burung merak – merupakan simbol keseimbangan hidup dan keserasian.
  6. Sepasang bunga teratai emas – merupakan simbol kesucian.
  7. Kirin – merupakan makhluk suci khayangan, perpaduan sapi bersisik dan bertanduk naga. Makhluk ini muncul pada zaman kelahiran Nabi Kong Hu Cu.
  8. Tiga pintu dewa – merupakan bentuk pintu kuno dimana terdapat tulisan dewa penjaga pintu.
  9. Dinding batu – merupakan sejenis batu coromandel yang masih bertahan warna putih asli.
  10. Lukisan dinding bergambar dewa-dewi – merupakan hasil karya lukisan yang menggambarkan situasi peperangan antara dewa dan siluman, serta terdapat gambaran peperangan antara kerajaan. 


Lukisan yang berjumlah 181 buah tersirat gambaran alam para dewa seperti dewa Chang Khu Lo (Dewa Panjang Umur), Cai Sen (Dewa Kemakmuran), Fuk Lo Sou, Ho Sien Ku, dan lainnya.

11.    Sepasang kepiting emas – merupakan simbol kecerdikan dan kelihaian.
12.    Ikan emas berkepala naga – merupakan simbol keemasan/kejayaan.
13.    Naga emas – merupakan simbol kekaisaran dan keagungan.
14.    Bola api diantara dua naga – merupakan simbol keabadian.
15.    Botol obat (Hu Lhu) diantara dua naga – merupakan simbol pengobatan/kesehatan.
16.    Harimau gunung – merupakan simbol kebuasan.
17.    Papan syair kuno – berisikan kesusasteraan syair tentang kebijaksanaan yang menjunjung tinggi langit.

Dewa – Dewi Kelenteng Gondomanan


1.       Thian Kuon Shu Fuk (Dewa Agung/Dewa Surga) – dikenal dengan Tuhan Pelindung Alam Semesta.
2.       Hok Tek Ceng Sin (Dewa Amurwa Bhumi) – adalah tuan rumah Kelenteng Gondomanan. Dewa Amurwa Bhumi merupakan Dewa Kemakmuran penguasa tanah bhumi yang didampingi dua dewa, yaitu dewa naga putih dan dewa naga hitam.
3.       Thu Tee Khung (Dewa Penjaga Bumi) adalah dewa bumi yang membantu tugas Dewa Amurwa Bhumi.
4.       Se Mu Niang – Tien Sang Se Mu atau Marici Dewata – adalah dewi penguasa laut yang didampingi oleh Chian Li Muk (siluman mata sakti) dan Chian Li Gan (siluman telinga sakti).
5.       Koen Tee Cuen Wang – adalah maha dewa urusan malapetaka/bencana alam dan musibah.
6.       Thai Yang Pho Sat (Dewa Surya) – adalah Dewa Matahari.
7.       Thai Yin Pho Sat (Dewi Chandra) – adalah Dewi Bulan.
8.       Thian Sin Ja (Dewa Langit) – adalah dewa yang menguasai alam dewa/khayangan.
9.       Kuan Seen Tee Kun atau Kuan Kong – adalah panglima perang.
10.    Kong Hu Cu – adalah guru agung sepanjang masa yang terkenal akan pengetahuan etika atau tata karma kehidupan.
11.    Shian Thien Sang Tee (Maha Dewa Uttara) – adalah dewa penakluk ilmu hitam.


12.    Eyang Senopati – adalah leluhur tanah Jawa.


Situs Kuno Kelenteng Gondomanan

Sumur Langit
Sumur Langit atau Kolam Teratai – merupakan ciri khas kelenteng. Sumur yang berbentuk persegi empat tempat para dewa – dewi hadir dan berangkat. Sumur langit merupakan pintu utama dewa kemakmuran dan sumber rejeki. Terdapat tiga macam sumur langit, yaitu sumur langit kering , sumur langit dengan jembatan, dan sumur langit dengan bunga teratai. Sumur langit yang dimiliki oleh sumur langit Kelenteng Gondomanan adalah sumur langit kering.

Vihara Buddha Prabha berada di bawah pembinaan Sangha Agung Indonesia wilayah IV (SAGIN IV). Terdapat beberapa organisasi di vihara ini diantaranya : Majelis Buddhayana Indonesia (MBI) – Tingkat DIY, Yayasan Bhakti Manggala Dharma,  Sekertariat Bersama Persaudaraan Muda-Mudi Vihara-Vihara Buddhayana Indonesia DIY (Sekber PMVBI – DIY), Generasi Muda Cetiya Buddha Prabha (GMCBP), dan Kalyana Putra (KP Program Anak Asuh).


Masyarakat Yogyakarta lebih mengenal Vihara Buddha Prabha dengan sebutan Kelenteng Gondomanan. Sebenarnya, vihara sangat berbeda dengan kelenteng. Vihara merupakan tempat ibadah umat Buddha. Kelenteng merupakan tempat ibadah umat Kong Hu Cu. Pada titik inilah terjadi keunikan, pada satu tempat yang sama terdapat dua tempat ibadah. Bagian depan digunakan oleh umat Kong Hu Cu sebagai Kelenteng. Bagian belakang digunakan oleh umat Buddha sebagai Vihara.

#

Pakme Santoso dilahirkan di negeri china daratan pada tanggal 14 bulan 7 imlek tahun 1913. Tahun 1971 menemukan Kelenteng Gondomanan dan merintis agama Buddha di Yogyakarta. Tahun 1973 divisudhi tisarana oleh Biksu Ashin Jinarakkhita (Sukong) dengan nama Hema Prajna. Meninggal dunia pada hari Selasa, 18 Oktober 1994.

#

Alamat Vihara       : Jln. Brigjend Katamso No. 3 Yogyakarta Kode Pos 55121. Telp. (0274) 378084

Teks                        : Nisya Rifiani
Foto                        : Astrida Lastiya Kusuma

Referensi               : Majalah Dharma Prabha – Majalah Buddhis Triwulan Nasional – Edisi 50 / Tahun XX / Januari
  2007

0 komentar:

Posting Komentar