MENJELAJAH LEBIH DALAM VIHARA BUDHA
PRABHA
Vihara
Buddha Prabha ‒ atau Kelenteng Fuk Ling Miau ‒ atau Kelenteng Gondomanan, pada
awalnya bernama Hok Ling Miau, konon merupakan hadiah dari Sultan Hamengku
Buwono II kepada permaisurinya yang berasal dari negeri tiongkok.
Kata Fuk berarti berkah, sedangkan kata Ling berarti tiada tara (tak terhingga),
dan Miau berarti kuil atau kelenteng.
Jadi, Fuk Ling Miau adalah kelenteng yang diberi nama kelenteng berkah tiada
tara. Tuan rumah kelenteng ini adalah Dewa Amurwa Bhumi.
Sejarah dan Perkembangan KelentengGondomanan
Tahun 1797 – 1971
Selama
ratusan tahun, kelenteng ini tidak pernah dikunjungi. Bangunan menjadi tak
terawat, dikelilingi rerumputan yang tinggi. Meski bangunan masih kokoh, namun
isinya porak poranda. Tidak ada altar, lilin, dupa, maupun peralatan sembahyang
lainnya. Kondisi juga sangat kotor dan memprihatinkan. Dindingnya hitam dan banyak
yang keropos. Lantainya rusak dan atapnya bocor. Tidak dilengkapi dapur, kamar
mandi, atau wc. Sulit mendapatkan air, apalagi air bersih.
Tahun 1971 – 1978
Pada
tahun 1971, kelenteng ‘ditemukan’ kembali oleh Pakme Santoso, Pakme Hu Lan, dan
Suhu Ting Ling dalam kondisi memprihatinkan. Kelenteng tidak terlihat seperti
tempat ibadah. Sebuah bangunan kuno yang tidak pernah dikunjungi orang selama
ratusan tahun lamanya. Bangunannya masih kokoh, tetapi warna tonggak bangunan
dan atap kelenteng yang khas sudah pudar ditelan sinar matahari. Temboknya,
pintunya, tiangnya, rupa dewanya, semuanya rusak total. Ruangan juga dipenuhi
berbagai sampah.
Kedua Pakme dan Suhu merasa terpanggil untuk menjayakan kembalil
kelenteng ini. Terutama, Pakme Santoso – ia menyuruh kuli bangunan pergi ke
kelenteng, membabat rumput-rumput, membersihkan & membuang sampah, dan
menimbun lumpur yang dalamnya selutut − sedikit demi sedikit. Setelah mulai
bersih, Pakme Santoso memimpin para kuli & tukang untuk merenovasi bangunan
– setiap hari. Pakme Santoso tidak berani mengubah bentuk
aslinya, hanya menggantikan yang rusak ke bentuk semula.
Semua altar dicat ulang. Pakme Santoso mulai melakukan
pengapuran dinding, karena sebelumya dinding berwarna hitam akibat asap.
Halaman parkir diubin untuk mempermudah umat memarkirkan kendaraannya. Pakme
Santoso mengganti ubin lantai. Dinding juga diberi ubin hingga kelihatan
bersih. Kamar mandi hanya ada dua, satu untuk anggota Sangha, dan satu lagi
untuk umat awam. Kemudian, Pakme Santoso membuat kamar mandi darurat dan
menggali sumur. Airnya dimanfaatkan untuk keperluan vihara, dan dipakai juga
oleh para pedagang yang berjualan di sekitar vihara.
Sesuai dengan tradisi yang ada, mereka selalu meminta izin
kepada pemilik kelenteng Phak Kung atau Hok Ten Tjing Sing, karena akan menata
kembali rumahnya. Setelah kelenteng dapat sedikit difungsikan, Pakme Santosa
dan para umat (yang saat itu masih sedikit) melakukan Liam Keng atau puja bakti
secara Mahayana. Kemudian, Bhante Ashin Jinarakkhita (pelopor kebangkitan agama
Buddha di Indonesia) memutuskan melakukan sembahyang pertama yang dilakukan
pada tanggal 26 imlek, sekitar tahun 1975. Tanggal tersebut kemudian selalu
diperingati dengan melakukan tradisi sembahyang – yang terus dijalankan hingga
saat ini.
Pada masa tersebut hampir seluruh pengusaha besar masih
sembahyang ke kelenteng sehingga proses renovasi kelenteng ini terbantu secara
finansial. Uang yang disumbangkan para umat langsung dijadikan barang. Renovasi
kelenteng memakan waktu cukup lama karena masalah keuangan. Renovasi kelenteng
digantungkan dari ada tidaknya donatur. Pada saat proses renovasi, Pakme
Santoso mendapat dukungan dari tokoh masyarakat di Yogyakarta diantaranya,
Bapak Tirtowinoto, Bapak Arwan Santoso, Bapak Onggo Hartono, dan lain-lain.
Bapak Tirtowinoto, saat itu berperan sebagai pelindung kelenteng.
Tahun 1978 – 1987
Pada
tahun 1978, gambar-gambar yang menceritakan tentang Kerajaan China pada tembok
vihara dicat ulang. Pakme Santoso membayar para pelukis untuk membuat gambar
tersebut seperti aslinya. Hal ini dilakukan untuk melestarikan gambar aslinya.
Gambar yang dilukis semuanya ada 180 gambar dan menghabiskan dana sekitar 2
juta rupiah (pada saat itu). Cerita bergambar ini menjadi salah satu simbol dan
daya tarik tersendiri bagi orang yang mengunjungi Vihara Buddha Prabha –
terutama turis domestik maupun mancanegara.
Konstruksi awal vihara tidak memberikan kenyamanan kepada
para umat yang bersembahnyang pada saat Ce
It dan Cap Go. Asap dupa
berkumpul di dalam vihara, tidak ada sirkulasi udara yang baik sehingga membuat
mata pedih dan membuat sesak pernafasan. Oleh karena itu, Pakme Santoso
kemudian membuat konstruksi baru dengan sistem atao ‘buka – tutup’. Atap
tersebut dapat dibuka ketika ada upacara besar sehingga asapnya tidak mengumpul
dalam ruangan, dan ditutup ketika tidak dibutuhkan.
Pada tahun 1984, tepatnya pada tanggal 8 April 1984 berdiri
sebuah organisasi kepemudaan dengan nama Generasi Muda Cetiya Buddha Prabha.
Anggotanya mayoritas adalah mahasiswa buddhis. Organisasi ini memegang peranan
penting terhadap vihara ini.
Tahun 1987 – 2001
Kemajuan
vihara sangat pesat, namun masih satu tugas lagi yang belum terselesaikan oleh
Pakme Santoso yaitu hal kepemilikan tanah dan bangunan yang terletak di sekitar
vihara. Tanah tersebut tidak memiliki sertifikat dan IMB, tetapi karena telah
ditempati dalam waktu lama dapat dianggap manjadi hak milik. Pakme Santoso
tidak mampu mengambil tanah tersebut.
Setelah melewati beberapa tangan dan perundingan yang panjang
dan melelahkan, akhirnya penghuni lama bersedia melepas sebagian dari tanah
yang ada di belakang. Tanah tersebut kemudian diganti oleh pihak vihara sebesar
Rp. 35 juta, mengingat jasa orang yang telah merawat kelenteng ini sebelumnya.
Sebenarnya, tanah tersebut merupakan satu kesatuan dengan
kelenteng. Meski demikian, untuk menghindari dari hal-hal yang merugikan, pihak
vihara memberikan ganti rugi walaupun tanpa surat apapun karena lokasi vihara
masih dalam lingkungan Keraton Ngayogyakarta. Hal tersebut kemudian hanya
dilaporkan ke kantor Badan Pertanahan dan Pemda Tingkat II.
Tanah yang di-klaim oleh vihara adalah dari samping depan
pagar vihara sampai ke belakang, tetapi baru yang di belakang yang dibebaskan.
Tanah yang dibebaskan kemudian dibangun dengan bangunan baru 2 lantai. Lantai
bawah digunakan sebagai ruang serbaguna, gudang, dan kamar mandi. Sedangkan
lantai atasnya digunakan sebagai ruang bhakti sala kecil. Meski dibangun dua
lantai, namun bangunan baru ini tidak melebihi tinggi bangunan induk
(kelenteng). Pada saat yang sama, seluruh bangunan dicat ulang. Ubin keramik
pada bangunan induk kelenteng yang semula berukuran 40x40x1cm diganti dengan
ukuran 50x50x1cm.
Tahun 2002 – sekarang
Kondisi
fisik bangunan masih terpelihara dengan baik. Gempa yang melanda Yogyakarta
pada 27 Mei 2006 mengakibatkan beberapa bagian vihara mengalami kerusakan,
tetapi tidak parah. Tanggal 7 Juni 2006 mulai diadakan pengecatan pada semua
bagian vihara.
Arsitektur Bangunan Kelenteng
Gondomanan
Fisik
bangunan kuno Kelenteng Gondomanan merupakan kombinasi arsitektur China – Jawa.
Arsitektur China mendominasi gaya bangunan kelenteng. Terdapat patung, dewa,
tulisan, dan gambaran alam negeri China. Arsitektur bernuansa Jawa terdapat
pada bagian atap ruang sumur langit.
Ciri
khas Kelenteng Gondomanan terdapat pada sepasang naga langit menghadap mutiara
api dan memiliki altar/pavilion dewa–dewi. Dominasi warna merah dan kuning
simbol keharmonisan. Keistimewaan Kelenteng Gondomanan ada pada lapangan
terbuka dimana terdapat sepasang pagoda api. Bagian pagar terdapat 8 tiang
dewa. Bagian serambi terdapat 2 tiang naga muda bersama 8 dewa.
Usia
bangunan Kelenteng Gondomanan sudah mencapai 200-an tahun. Maka tak heran,
Kelenteng Gondomanan menjadi Bangunan Cagar Budaya (BCB) – kategori tempat ibadah. BCB Warisan
Budaya Yogyakarta – Kelenteng Gondomanan dikukuhkan pada tanggal 15 April 1999.
Karya Seni Kuno Kelenteng Gondomanan
- Tiang pagar berjajar 8 – memiliki
arti bahwa kelenteng berada di bawah lindungan 8 dewa.
- Pagoda Api – berfungsi sebagai tempat
pembakaran kertas sembahyang. Maknanya bahwa, konon dahulu dipakai untuk
penjara, hukuman para dewa dan siluman.
- Sepasang tiang naga muda bersama 8
dewa – menunjukkan kekokohan bangunan kelenteng dijaga oleh 8 dewa dan sepasang
naga (asli dipahat dari sebuah batu besar).
- Singa berbulu emas – merupakan simbol
kebuasan dan keberanian.
- Sepasang anak dewa menunggang burung
merak – merupakan simbol keseimbangan hidup dan keserasian.
- Sepasang bunga teratai emas –
merupakan simbol kesucian.
- Kirin – merupakan makhluk suci
khayangan, perpaduan sapi bersisik dan bertanduk naga. Makhluk ini muncul pada
zaman kelahiran Nabi Kong Hu Cu.
- Tiga pintu dewa – merupakan bentuk
pintu kuno dimana terdapat tulisan dewa penjaga pintu.
- Dinding batu – merupakan sejenis batu
coromandel yang masih bertahan warna putih asli.
- Lukisan dinding bergambar dewa-dewi – merupakan hasil karya lukisan yang menggambarkan situasi peperangan antara dewa dan siluman, serta terdapat gambaran peperangan antara kerajaan.
Lukisan yang berjumlah 181 buah tersirat gambaran alam para dewa seperti
dewa Chang Khu Lo (Dewa Panjang Umur), Cai Sen (Dewa Kemakmuran), Fuk Lo Sou,
Ho Sien Ku, dan lainnya.
11. Sepasang kepiting emas – merupakan
simbol kecerdikan dan kelihaian.
12. Ikan emas berkepala naga – merupakan
simbol keemasan/kejayaan.
13. Naga emas – merupakan simbol
kekaisaran dan keagungan.
14. Bola api diantara dua naga –
merupakan simbol keabadian.
15. Botol obat (Hu Lhu) diantara dua naga
– merupakan simbol pengobatan/kesehatan.
16. Harimau gunung – merupakan simbol
kebuasan.
17. Papan syair kuno – berisikan
kesusasteraan syair tentang kebijaksanaan yang menjunjung tinggi langit.
Dewa – Dewi Kelenteng Gondomanan
1. Thian Kuon Shu Fuk (Dewa Agung/Dewa
Surga) – dikenal dengan Tuhan Pelindung Alam Semesta.
2. Hok Tek Ceng Sin (Dewa Amurwa Bhumi)
– adalah tuan rumah Kelenteng Gondomanan. Dewa Amurwa Bhumi merupakan Dewa
Kemakmuran penguasa tanah bhumi yang didampingi dua dewa, yaitu dewa naga putih
dan dewa naga hitam.
3. Thu Tee Khung (Dewa Penjaga Bumi) − adalah dewa bumi yang membantu tugas Dewa Amurwa Bhumi.
4. Se Mu Niang – Tien Sang Se Mu atau
Marici Dewata – adalah dewi penguasa laut yang didampingi oleh Chian Li Muk
(siluman mata sakti) dan Chian Li Gan (siluman telinga sakti).
5. Koen Tee Cuen Wang – adalah maha dewa
urusan malapetaka/bencana alam dan musibah.
6. Thai Yang Pho Sat (Dewa Surya) –
adalah Dewa Matahari.
7. Thai Yin Pho Sat (Dewi Chandra) –
adalah Dewi Bulan.
8. Thian Sin Ja (Dewa Langit) – adalah
dewa yang menguasai alam dewa/khayangan.
9. Kuan Seen Tee Kun atau Kuan Kong –
adalah panglima perang.
10. Kong Hu Cu – adalah guru agung
sepanjang masa yang terkenal akan pengetahuan etika atau tata karma kehidupan.
11. Shian Thien Sang Tee (Maha Dewa
Uttara) – adalah dewa penakluk ilmu hitam.
12. Eyang Senopati – adalah leluhur tanah
Jawa.
Situs Kuno Kelenteng Gondomanan
Sumur Langit
Sumur
Langit atau Kolam Teratai – merupakan ciri khas kelenteng. Sumur yang berbentuk
persegi empat tempat para dewa – dewi hadir dan berangkat. Sumur langit
merupakan pintu utama dewa kemakmuran dan sumber rejeki. Terdapat tiga macam
sumur langit, yaitu sumur langit kering , sumur langit dengan jembatan, dan
sumur langit dengan bunga teratai. Sumur langit yang dimiliki oleh sumur langit
Kelenteng Gondomanan adalah sumur langit kering.
Vihara
Buddha Prabha berada di bawah pembinaan Sangha Agung Indonesia wilayah IV
(SAGIN IV). Terdapat beberapa organisasi di vihara ini diantaranya : Majelis
Buddhayana Indonesia (MBI) – Tingkat DIY, Yayasan Bhakti Manggala Dharma, Sekertariat Bersama Persaudaraan Muda-Mudi
Vihara-Vihara Buddhayana Indonesia DIY (Sekber PMVBI – DIY), Generasi Muda
Cetiya Buddha Prabha (GMCBP), dan Kalyana Putra (KP − Program Anak Asuh).
Masyarakat
Yogyakarta lebih mengenal Vihara Buddha Prabha dengan sebutan Kelenteng Gondomanan.
Sebenarnya, vihara sangat berbeda dengan kelenteng. Vihara merupakan tempat
ibadah umat Buddha. Kelenteng merupakan tempat ibadah umat Kong Hu Cu. Pada
titik inilah terjadi keunikan, pada satu tempat yang sama terdapat dua tempat
ibadah. Bagian depan digunakan oleh umat Kong Hu Cu sebagai Kelenteng. Bagian
belakang digunakan oleh umat Buddha sebagai Vihara.
#
Pakme
Santoso – dilahirkan di negeri china daratan pada tanggal 14 bulan 7
imlek tahun 1913. Tahun 1971 menemukan Kelenteng Gondomanan dan merintis agama
Buddha di Yogyakarta. Tahun 1973 divisudhi tisarana oleh Biksu Ashin
Jinarakkhita (Sukong) dengan nama Hema Prajna. Meninggal dunia pada hari
Selasa, 18 Oktober 1994.
#
Alamat
Vihara : Jln. Brigjend Katamso No. 3
Yogyakarta Kode Pos 55121. Telp. (0274) 378084
Teks :
Nisya Rifiani
Foto :
Astrida Lastiya Kusuma
Referensi : Majalah Dharma Prabha – Majalah
Buddhis Triwulan Nasional – Edisi 50 / Tahun XX / Januari
2007
0 komentar:
Posting Komentar