1 Mar 2012

FIKSI : PEDAGANG DAGING DAN PENJUAL SATE


Cerpen ini telah dipublikasikan di Tabloid Remaja BIAS – Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olah Raga Provinsi DIY Edisi 4 Tahun XVII / 2012

PEDAGANG DAGING DAN PENJUAL SATE
-Nisya Rifiani-

“Beli daging ayamnya dua setengah kilo, Bu.” pesan Idjah pada Bu Martha.
“Wah, hari ini belinya banyakan ya, Idjah.” sambut Bu Martha sembari melayani pesanan Idjah.
“Iya, hari ini saya mau dagang mutar di kompleks perumahan di samping pom bensin.” kata Idjah.
“Memangnya kenapa kalo’ dagang di sana. Laris ya?” tanya Bu Martha.
“Iya, kayaknya mereka suka sama sate ayam saya. Kalo dagang disana sering habis.” jawab Idjah.
“Oh gitu. Ini daging ayamnya dua setengah kilo. Semuanya lima puluh lima ribu rupiah.” kata Bu Martha sambil menyerahkan bungkusan kepada Idjah.
“Terimakasih. Ini uangnya, jumlahnya pas.” Idjah menyerahkan sejumlah uang kepada Bu Martha.
“Wah, saya juga terimakasih. Semoga dagangannya hari ini laris.” kata Bu Martha.
“Sama-sama. Saya pamit dulu ya, Bu.” kata Idjah sambil tersenyum.
“Iya.” jawab Bu Martha yang kemudian kembali sibuk melayani pembeli yang lain.

Idjah dan Bu Martha adalah dua orang dari sekian banyak orang yang beraktivitas di pasar itu. Idjah, perempuan muda itu setiap pagi selalu berbelanja ke pasar untuk membeli keperluan dagangannya. Setelah sebelumnya mempersiapkan kebutuhan anak satu-satunya yang duduk di bangku sekolah dasar berangkat ke sekolah. Sepulangnya berbelanja di pasar, Idjah lantas cepat-cepat mempersiapkan semua dagangannya. Karena siangnya, ia harus membantu membersihkan rumah milik orang yang menyewanya sebagai tukang bersih-bersih rumah. Sore harinya, itulah saatnya Idjah menjual dagangannya. Berkeliling menjajakan sate ayamnya dari rumah ke rumah…

Idjah bekerja untuk membantu keadaan ekonomi keluarga. Suami Idjah sendiri bukan orang yang berpenghasilan tinggi. Pasangannya itu bekerja di sebuah perusahaan swasta sebagai office boy. Walaupun hidup dalam keadaan pas-pasan dan harus bekerja keras, namun Idjah dan keluarga ‘kecil’nya itu menjalaninya dengan penuh keikhlasan dan senantiasa bersyukur pada Tuhan YME. Setiap ada masalah menerpa, mereka selalu menghadapinya dengan kesabaran dan usaha yang maksimal untuk dapat menyelesaikannya.

Lapak Bu Martha yang berada di depan kios pasar sudah menjadi langganan Idjah semenjak ia mulai berjualan sate ayam. Setiap pagi Bu Martha berjualan daging ayam disana, setiap pagi pula Idjah membeli daging ayam disana. Memang, selain Bu Martha masih banyak pedagang lain yang menjajakan dagangan serupa. Namun, Idjah sudah terlanjur menjadi pembeli tetap di lapak Bu Martha. Daging ayam yang dijual Bu Martha selalu segar, dan pelayanan yang diberikannya pun selalu ramah. Selain itu karena merasa sesama pedagang kecil, Idjah dan langganan lainnya kerap mendapat potongan harga dari Bu Martha. Meski jumlahnya tak seberapa.

Suatu hari, Idjah tak menemukan lapak Bu Martha di tempat biasanya.
Kemana Bu Martha? Ah, mungkin tempat jualannya pindah… pikir Idjah.

“Bang, tau nggak. Lapak Bu Martha pindah kemana?” Idjah bertanya pada pedagang sayur yang biasanya bersebelahan lapak dengan Bu Martha.
“Oh… Bu Martha nggak pindah lapak kok, Non. Tadi anak sulungnya kemari mengabarkan kalo’ Bu Martha berhenti jualan untuk sementara karena sedang sakit…” jawab si penjual sayur.
“Oh begitu… Wah, saya harus beli daging ayam dimana dong, Bang?” tanya Idjah setengah bercanda.
“Nggak usah bingung gitu, Non. Di sebelah sana kan banyak yang jual dagang daging ayam juga. Non cari-cari aja yang cocok…” kata si penjual sayur sambil menunjuk tempat yang ia maksudkan.

Akhirnya Idjah memutuskan untuk berbelanja daging ayam di lapak Bu Mirah yang berjualan tak jauh dari lapak Bu Martha.

Daripada hari ini nggak jualan… pikir Idjah.

#

“Idjah… nggak belanja daging?” sapa Bu Martha ketika Idjah melewati lapak dagangannya begitu saja.
“Oh, Bu Martha. Sudah sembuh sakitnya?” tanya Idjah.
“Iya. Alhamdulillah sudah agak baikan. Ayo, kamu mau belanja berapa kilo?” tanya Bu Martha.
“Maaf Bu, saya tadi sudah belanja daging di lapak Bu Mirah.” kata Idjah dengan sopan.
“Lhoh, kamu nggak belanja di tempat saya lagi?” tanya Bu Martha.
“Maunya sih gitu, Bu. Tapi kalo belanja di lapak Bu Mirah, sate saya nambah lima tusuk per kilonya.” kata Idjah.
“Ah, masa sih? Jumlahnya kan sama...” kata Bu Martha tidak memercayai kata-kata Idjah.
“Iya, Bu. Maaf Bu, saya harus cari bahan lainnya.” kata Idjah sembari berlalu mencari keperluannya yang lain.

Bu Martha sedikit kecewa karena dagangannya tak jadi dibeli oleh Idjah. Namun ternyata tak hanya Idjah, pelanggannya yang lain pun ternyata sudah keburu belanja daging di lapak yang lain.

Waduh, apa hari ini aku kesiangan ya… pikir Bu Martha.

Tetapi hari itu, dagangan Bu Martha tak selaris biasanya. Hingga siang menjelang, hanya ada dua atau tiga pembeli yang datang. Itu pun bukan pembeli yang biasa berlangganan di tempatnya. Sementara lapak Bu Martha terlihat sepi, sepuluh meter dari tempat itu sebuah lapak yang menjajakan dagangan serupa terlihat selalu ramai. Nampak pembeli datang silih berganti, hingga sang penjual kewalahan dan akhirnya semua dagangannya laku terjual. Ya, lapak itu milik Bu Mirah.

Kenapa lapak Bu Mirah jadi ramai seperti itu? Bu Martha berfikir keheranan.

Hari-hari berikutnya, makin sedikit saja orang yang berbelanja di lapak Bu Martha. Idjah juga tak pernah terlihat lagi mampir di lapak Bu Martha, demikian dengan pelanggan lainnya. Bu Martha merasa dihianati oleh pelanggan-pelanggannya. Ia kesal sekali.

Wah, kemana nih pelangganku? Padahal mereka kan tahu aku sudah jualan lagi… Bu Martha bertanya-tanya dalam hati.

Melihat ramainya lapak Bu Mirah, ada sedikit rasa iri di hati Bu Martha. Apalagi sudah seminggu lebih dagangannya tak laku.

Lapak Bu Mirah makin ramai aja sejak minggu lalu. Jangan-jangan selama aku nggak jualan, dia menghasut para pelangganku supaya nggak belanja lagi di tempatku, dan merebut semua pelangganku. Dasar pedagang curang…

Bu Martha mengomel dalam hati sembari menunggui barang dagangannya di siang yang terik itu. Tak ada satu pun pembeli yang datang hari itu. Sepanjang hari ia hanya duduk-duduk sembari melamun saja. Daging-dagingnya semakin siang pun semakin tidak menyenangkan rupa maupun kesegarannya. Ia pun terpaksa merugi.

Dalam lamunannya, tiba-tiba Bu Martha teringat sesuatu. Ia lantas merogoh sesuatu di balik timbangannya. Bu Martha melongo saja ketika ia mendapatkan sebuah kerikil seberat biji kelereng. Oh… rupanya kerikil itu yang membuat timbangannya menjadi berat. Sebuah kerikil yang bertahun lalu sengaja dipasangkannya, untuk memberatkan timbangannya, untuk mengambil keuntungan bagi dirinya sendiri.

Tuduhan-tuduhannya pada Bu Mirah yang menghasut dan merebut semua pelanggannya ternyata tidak benar. Berpindahnya semua pelanggannya ke lapak orang lain ternyata memang akibat perbuatannya sendiri. Timbul rasa penyesalan di hati Bu Martha. Kalaulah sejak bertahun lalu ia berdagang dengan cara yang jujur, pastilah ia tak ditinggalkan oleh para pelanggannya dan mengalami kerugian seperti ini. Kepercayaan yang telah dipupuknya selama bertahun-tahun hilang begitu saja dalam waktu yang tidak lama. Perbuatannya dahulu baru ia rasakan dampaknya sekarang.

Bu Martha lantas membuang jauh-jauh kerikil tersebut ke jalanan. Berharap tidak lagi kembali padanya.

#

- Fiksi Islami ini ditulis oleh :: Nisya Rifiani / Februari 2012 -

------------------------------------------------------------------------------------------------

BIAS Edisi #3 Tahun 2012 Cerpen Pedagang Daging dan Penjual Sate

0 komentar:

Posting Komentar