15 Mar 2013

Kuliah Komunikasi - Media Literacy #1 (Review)

KULIAH KOMUNIKASI
Studi Literasi Media (Bagian I)
Review by : Nisya Rifiani

1.    Sejarah dan perkembangan literasi media
Perkembangan literasi media tidak dapat dilepaskan dari perkembangan media itu sendiri. Center for Media Literacy (CML) memberikan ilustrasi mengenai perkembangan literasi media terutama di Amerika Serikat. Sejarah perkembangan literasi media sejatinya sudah dimulai sebelum dekade 1960-an. Perkembangan pada era ini tidak dapat dilepaskan dari tokoh Marshall McLuhan yang memberikan perspektif baru dalam memandang media, yakni sebuah konsep “the medium is the message” dalam bukunya yang berjudul “Understanding Media: The Extensions of Man”.
McLuhan menganggap media sebagai perluasan manusia dan bahwa media yang berbeda-beda mewakili pesan yang berbeda-beda. Media juga menciptakan dan mempengaruhi cakupan serta bentuk dari hubungan-hubungan dan kegiatan-kegiatan manusia. Pengaruh media telah berkembang dari individu kepada masyarakat. Dengan media setiap bagian dunia dapat dihubungkan menjadi desa global (The Global Village).
Tokoh lainnya ialah John Culkin (1928 - 1993), merupakan seorang pendidik di Amerika yang pertama kali memasukkan literasi media ke dalam kurikulum pendidikan secara eksplisit. Pemikirannya adalah untuk membuat Amerika Serikat memiliki populasi yang media literate. Pada tahun 1964, Culkin menulis :

"The attainment of (media) literacy involves more that mere warnings about the effects of the mass media and more even than constant exposure to the better offerings of these media. This is an issue demanding more than good will alone; it requires understanding. And training in understanding is the task of the school!"

Dekade 1960 - 1970
Pada dekade ini dimulai uji coba yang mengintergrasikan literasi media ke dalam kurikulum. Berbagai penelitian dilakukan dalam usaha penggunaan media di sekolah. Misalnya, menggunakan televisi untuk mendukung kegiatan pendidikan dan mengintegrasikan pendidikan literasi media ke dalam kurikulum dengan modul yang disusun dengan baik.
Selanjutnya, UNESCO mengembangkan prototipe model program pendidikan media yang hendak diterapkan di seluruh dunia(1). Pada saat itu hanya sedikit negara yang memberikan perhatiannya terhadap literasi media diantaranya Inggris dan Australia. Menyusul negara-negara di Eropa, Amerika Latin, Amerika Serikat, dan Afrika Selatan. Gerakan literasi media kemudian muncul di berbagai negara di dunia.

Dekade 1970 - 1980
Langkah awal mengembangkan literasi media yang dirintis pada dekade sebelumnya tidak berkelanjutan dengan baik. Seperti ditulis dalam laporan Educational Policies Commission of the National Education Association dalam kategori "Mass Communication and Education" :

"In light of the time spent by today's student with the media of mass communication, some study of these media and the communication process is essential. This means, first, the creation of an awareness of the place communication holds in the modern environment… The necessity of these skills is not recognized as easily as the lack of ability to read… There is a deceptive sense of effortless connected with reception of these channels… The recognition that a picture can express editorial opinion even more easily than the written word can help build a wall against propaganda. A considerable body of research literature which provides the basis for teaching how to watch and listen is emerging, although established curriculum programs are still rare. The need for such teaching, however, is everywhere."

Dekade 1980 - 1990
Pada dekade ini perkembangan literasi media di Amerika Serikat berlangsung dengan cepat dan luas, demikian pula yang terjadi di Eropa. Negara-negara di Eropa mengembangkan literasi media dengan memasukkannya ke dalam kurikulum mulai dari level sekolah dasar, menengah, hingga perguruan tinggi. Pemerintah Perancis mengembangkan literasi media dengan tujuan mencegah cara menonton yang pasif (passive viewing) dan manipulasi. Inilah mengapa siswa harus mempelajari bagaimana sebuah gambaran (image) diproduksi, diorganisasikan, dan bagaimana untuk mengkombinasikannya dengan bentuk pembelajaran yang lain, misalnya tulisan dan lisan, serta pengalaman langsung.
Pemerintah Finlandia mengembangkan literasi media untuk melatih siswa meneliti dan menginterpretasi pesan media massa, untuk menumbuhkan analisis kritis, dan mengajari siswa bagaimana mengembangkan opini mereka sendiri tentang pesan yang disampaikan media massa.
Pemerintah Inggris bahkan menyusun program pendidikan literasi media dalam skala luas yang meliputi empat bahasan pokok. Pertama, sumber, asal, dan determinan dari konstruksi media. Kedua, teknik dan koding yang dominan digunakan media untuk meyakinkan kita kebenaran representasi mereka, misalnya bagaimana media menggunakan teknologi untuk mengedit informasi dalam bentuk yang paling kuat dan meyakinkan. Ketiga, sifat dasar “realitas” yang dibentuk oleh media, misalnya nilai implisit yang ada dalam pesan media, karakteristik dunia yang direpresentasikan media, dan sebagainya. Keempat, bagaimana konstruksi media tentang realitas diterima dan dipahami oleh masyarakat umum.

Dekade 1990 - 2000
Literasi media kemudian dipahami sebagai sebuah pemberdayaan dalam menentukan sikap atas pilhan, bukan mekanisme untuk melindungi diri dari bahaya tertentu. Literasi media merupakan kemampuan, cara berpikir, dan selalu berkembang. Apa yang penting dalam literasi media bukanlah menyampaikan jawaban yang benar tetapi mengemukakan pertanyaan yang tepat. Berbagai organisasi pemerhati literasi media mulai bermunculan terutama di Amerika Serikat.
Organisasi pemerhati literasi media di Amerika mengembangkan media literasi yang meliputi cara berfikir tentang pengaruh media massa pada era modern dan sumber-sumber kurikulum baru untuk mendidik orang dewasa dan generasi muda untuk menjadi lebih berpengetahuan dan selektif sebagai pengguna media. Selain itu organisasi mengembangkan program visioner dan praktis bagi perkembangan literasi media di Amerika Serikat.

Dekade 2000 - sekarang
Pada awal abad ke-21 menandakan perkembangan literasi media di beberapa negara. Kurikulum literasi media berlangsung pada hampir semua sekolah. Literasi media diarahkan untuk mengakomodasi dan menciptakan perubahan pada skala global. Perkembangan media dan teknologi komunikasi yang sudah mendunia. Seperti dikatakan oleh Thoman dan Joll (2) :

Konvergensi media dan teknologi dalam budaya global telah mengubah cara kita belajar tentang dunia dan juga tantangan pendidikan. Tidak lagi cukup untuk dapat membaca kata tercetak; anak-anak, remaja, dan dewasa, juga perlu kemampuan kritis dalam menanfsirkan presentasi pesan dan makna dari berbagai budaya media. Pendidikan literasi media menyediakan kerangka kerja yang dibutuhkan untuk hidup, bekerja dan berkewarganegaraan di abad 21 ini.

Literasi Media di Indonesia
Perkembangan literasi media di Indonesia masih sebatas gerakan-gerakan yang belum terstruktur (3). Gerakan-gerakan tersebut dilakukan melalui seminar, road show, dan kampanye literasi media. Contohnya seperti yang dilakukan oleh Yayasan Jurnal Perempuan pada tahun 2005, Komunitas Mata Air tahun 2004, Komisi Penyiaran Indonesia tahun 2005, Perhimpunan Masyarakat Tolak Pornografi tahun 2006, Yayasan Pengembangan Media Anak (YPMA) tahun 2011, dan beberapa organisasi pemerhati media lainnya. Namun, gerakan-gerakan ini baru bisa dilakukan dalam skala kecil. Pendidikan melek media tidak cukup bila disampaikan hanya dalam seminar berdurasi dua jam, atau dalam kampanye dan roadshow selama seminggu.
Pembelajaran literasi media memiliki peluang yang besar untuk dikembangkan, salah satunya melalui jalur pendidikan. Kurikulum pendidikan yang berlaku di Indonesia saat ini memberikan peluang kepada pendidikan literasi media untuk masuk ke dalam satuan kurikulum. Pendidikan literasi media dapat dijadikan satu mata pelajaran baru ataupun disubstitusikan menjadi bagian integral dalam, beberapa mata pelajaran yang memungkinkan - meski idealnya pendidikan literasi media menjadi satu subyek pelajaran tersendiri. Hal tersebut dilakukan agar transfer pendidikan melek media dapat lebih optimal dan guru dapat lebih mudah memantau perkembangan siswa tentang pemahaman melek media. Pelaksanaan pendidikan literasi media dapat disesuaikan dengan kondisi sekolah masing-masing. Sekolah bersama dengan komite sekolah dapat bersama-sama merumuskan kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan, situasi, dan kondisi lingkungan sekolah.
Sebuah yayasan yang bergerak dalam bidang kesejahteraan anak dan pemerhati media telah memulai sebuah proyek percontohan  “Pembelajaran Literasi Media” yang dilaksanakan pada sebuah sekolah dasar tepilih di kawasan Ibu Kota pada tahun 2002. Sebelum melaksanakan model pertama ini yayasan tersebut melakukan pelatihan terhadap para guru dalam rangka mempersiapkan guru, agar dapat maksimal dalam mengajarkan pendidikan melek media terhadap anak didik. Selain itu diadakan seminar bagi orang tua murid tentang pendidikan melek media untuk menyampaikan pentingnya pendidikan melek media.
Selanjutnya, yayasan tersebut menyelenggarakan beberapa pelatihan dan pembelajaran literasi media untuk guru sekolah dasar dan menengah dalam cakupan wilayah yang lebih luas. Yayasan tersebut juga mengembangkan stimulant atau alat bantu pengajaran untuk memudahkan guru dalam memberikan materi “Pembelajaran Literasi Media” kepada siswa dengan cara yang menyenangkan dan interaktif. Pengembangan itu juga mencakup pembuatan buku pegangan (modul) untuk guru dan siswa serta pengembangan lembar kerja siswa.
Literasi media menjadi sesuatu yang esensial dan tak terhindarkan ketika ia berada dalam suatu masyarakat media. Lebih lanjut, masyarakat media tidak hanya cukup memahami media saja. Adiputra mengutip pada The Interplay of Influence: News, Advertising, Politics, and Mass Media yang ditulis oleh Jamieson dan Campbell, sebaiknya masyarakat juga tidak hanya memahami media dengan baik. Pada ujung memahami media sebaiknya masyarakat juga tahu cara berinteraksi atau berhubungan dengan media bila media melakukan kesalahan. Masyarakat juga harus tahu cara mempengaruhi media, bila perlu melakukan boikot dan beragam gerakan masyarakat yang lalin untuk “memaksa” media memperbaiki kesalahan yang dilakukannya (4).
Media literasi adalah sebuah keterampilan yang diperlukan oleh masyarakat guna berinteraksi secara layak dengan media khususnya media televisi. Literasi media merupakan salah satu upaya menangkap dampak negatif media televisi. Media literasi menjadikan khalayak media mampu mengevaluasi dan berfikir kritis terhadap pesan yang disampaikan oleh media televisi.

#

DAFTAR PUSTAKA
  1. Hobbs dalam Iriantara. 2006. Hal. 88.
  2. Thoman, Elizabeth dan Thomas Joll dalam Media Awareness Network. 2007. Dapat diakses dalam : www.media-awareness.ca/english/teachers/media_literacy/what_is_media_literacy.cfm/
  3. Yayasan Pengembangan Media Anak (YPMA). Loc cit.
  4. Adiputra, Wisnu Martha. 2008. Menyoal Komunikasi Memberdayakan Masyarakat. Yogyakarta: Penerbit Fisipol UGM. Hal. 164. 

1 komentar:

  1. Ini bagus sekali postingannya kak, izin di shera buat kepentingan pendidikan. Kami lg kelola web literasi media. mulai dari mengumpulkan tulisan ttg pentingnya Literasi Media.

    BalasHapus