17 Nov 2011

FIKSI : LELAKI DALAM KENANGAN SUBUH

- Nisya Rifiani -

KYAAA…!!!

Jeritan pilu seorang gadis muda berkerudung memecah senja jingga kala itu. Rupanya seorang pengendara motor tak sengaja menyerempetnya hingga ia terhempas ke jalanan. Beruntung jalanan itu sepi sehingga tak ada kendaraan lain yang membahayakannya. Gadis itu pun hanya menderita luka lecet di telapak tangannya dan sedikit mengalami shock. Pengendara motor itu berhenti, turun, kemudian segera menghampiri gadis itu.

“Kamu tidak apa-apa?” tanya Sang pengendara motor. Ia bermaksud membantu gadis itu berdiri, tetapi Si gadis segera menepis tangan pengendara motor itu dengan sopan. Tak sengaja mata mereka beradu pandang. Si gadis terpaku melihat bola mata hitam legam milik pemuda yang barusan menabraknya. Sang pengendara motor tak kalah herannya.

“Hei, Nona… Kamu tidak apa-apa?” ulang Sang pengendara motor.
“Ah, tidak… Saya tidak apa-apa.” jawab gadis itu. Bergegas ia berdiri dan membersihkan pakaian muslimnya dari pasir dan kotoran. “Maaf, saya harus segera pergi.” kata gadis itu pada Sang pengendara motor. Begitu cepat gadis itu berlalu dan menghilang di tikungan. Sang pengendara motor tak mampu menahannya, hingga tak sempat mengucap maaf.

Keesokan harinya selepas waktu subuh, di sebuah rumah yang tak jauh dari tempat kejadian perkara. Terlihat seorang gadis yang sedang menyapu halaman dan merawat tanaman. Kemudian datang seorang pengantar koran dengan mengendarai sepeda motornya, menghampiri rumah itu.
“Kamu…” Si gadis mengenali pemuda pengantar koran itu sebagai orang yang tak sengaja menabraknya semalam.
“Oh, ternyata Nona. Saya datang mengantarkan koran dan susu. Ini…” pemuda itu menyerahkan surat kabar pagi dan sebotol susu segar pada Si gadis.
“Terima kasih.” ucap Si gadis.
“Nama saya Raufan.” Pemuda itu menyebutkan nama.
“Raina.” balas Si gadis seraya mengangguk sopan.
“Oh ya, maaf atas kejadian semalam. Saya tak sengaja menyerempet Nona.”
“Tidak apa-apa. Bagaimana dengan keadaanmu sendiri?”
“Saya baik-baik saja. Hanya, kalah taruhan…”
“Taruhan?”
“Ya, balapan liar.”
“Jadi, kamu ikut balapan liar?”
“Ya.”
“Kenapa kamu ikut balapan liar yang berbahaya dan beresiko besar seperti itu?”
“Nona… tahu apa tentang saya? Saya bukan orang berada seperti Nona. Kedua orang tua saya telah meninggal dunia beberapa tahun lalu. Saya adalah anak sulung yang kini menjadi tulang punggung keluarga. Saya harus membiayai diri sendiri dan kedua adik saya yang masih kecil. Kerja paruh waktu di berbagai tempat masih belum cukup untuk membiayai hidup kami bertiga. Padahal saya telah bekerja keras setiap hari. Termasuk menggantikan teman mengantarkan koran dan susu. Dengan satu-satunya sepeda motor yang saya miliki saya mencoba menambah penghasilan dengan ikut balapan liar. Kalau menang, hasil yang didapat lumayan banyak…”
Raina tercengang mendengar pengakuan Raufan. Memang, sudah beberapa kali dalam bulan ini suara motor itu membuat gaduh di tengah malam. Rupanya Raufan pengendaranya.

“Nona jangan memandang saya seperti itu. Meski saya orang tak mampu saya tidak butuh belas kasih dari orang lain.” kata Raufan.
“Maaf. Sungguh saya tidak ada maksud merendahkan siapapun.” balas Raina tulus.
“Baiklah, saya harus berusaha lebih keras lagi.” kata Raufan.  “Nona juga, ya.” Raufan memberikan pesan diiringi dengan senyuman. Lalu bergegas pergi mengantarkan koran kepada pelanggan lainnya. Raina membawa masuk koran dan susu itu ke dalam rumah. Ia lalu segera bersiap-siap pergi kuliah. Takut terlambat di jam pertamanya.

#

Berawal dari rangkaian pertemuan yang tak pernah diduga itu –serta pekerjaan Raufan sebagai pengantar koran, memang menjadikan Raina dan Raufan bertemu setiap hari. Hal itu kemudian membuat Raina begitu tertarik dengan pemuda bernama Raufan itu. Raina tak mengerti mengapa pemuda itu begitu memesona dirinya. Setiap ba’da subuh seusai shalat fardhu ditemuinya Raufan yang datang mengantarkan koran dan susu. Ia begitu menantikan saat kedatangan Raufan. Dimana Raina bisa melihat Raufan dari dekat. Tak jarang Raufan terlihat sedang bercengkerama dengan Raina, bahkan sesekali bercanda bersama. Kesan formal Raufan terhadap Raina pun mencair, berubah menjadi kehangatan dan keakraban. Pemuda itu selalu mengantarkan koran dan susu tepat waktu, dan pergi diiringi dengan senyuman, manis. Kedekatan Raina dengan Raufan pun berjalan seiringan dengan masa.

Raufan memang bukan pemuda yang istimewa. Hanya seorang pemuda yatim piatu biasa. Meski sedikit ugal-ugalan, tetapi Raufan adalah pemuda yang baik, sopan dan taat dalam menjalankan kewajiban. Raufan hanya tinggal bertiga saja dengan kedua adiknya disebuah rumah kontrakan reot yang berjarak beberapa kilometer dari rumah Raina. Rumah itu pun berada di tepi perkebunan apel milik ayah Raina. Baru beberapa minggu ini mereka pindah ke rumah kontrakan tersebut. Untuk mencukupi kebutuhan, Raufan harus bekerja paruh waktu di berbagai tempat. Namun terkadang penghasilan yang didapat masih kurang meski hanya untuk hidup sehari-hari. Raufan pun mesti bekerja ekstra keras untuk menghidupi dirinya sendiri serta kedua adiknya. Raufan… seorang pemuda dengan tanggung jawab besar yang dipikulnya seorang diri. Betapa sulitnya Raufan hidup dengan cara itu, tetap harus menghadapinya dengan tegar. Mempertaruhkan semua yang ia miliki dengan resiko teramat besar, bahkan nyawa sekalipun…

Abah telah lama memperhatikan Raina. Melihat kedekatan Raina dengan Raufan membuat Abah menduga-duga telah timbul rasa antara keduanya. Suatu saat Abah menginterogasi Raina sesaat setelah ia menerima koran dan susu.

“Abah perhatikan wajahmu selalu berseri-seri setelah menerima koran dan susu di pagi hari. Apa karena pemuda itu?” tanya Abah. Raina tak berani menjawab pertanyaan Abah.

“Raina, Abah tak ijinkan kau bersama dengan pemuda ugal-ugalan itu. Abah dengar dari Mang Asep, pemuda itu yang sering balapan malam-malam. Kalau soal jodoh, biar Abah kenalkan kamu dengan putra teman Abah yang sudah pasti sholeh.” kata Abah.

“Tapi, Abah…” Raina memprotes.
“Sudah Raina. Kalau soal ini Abah tak mau ada kompromi.” kata Abah. Raina hanya terdiam mendengar kata-kata Abah.

Raina dibesarkan dalam keluarga Islam dibawah pengajaran bijaksana Abah dan didikan keras Umi. Tentu saja orang tuanya tidak menyetujui hubungannya dengan pemuda tak jelas seperti Raufan. Raina memang ber’ikhtiar dengan Raufan, tetapi ia memilih diam. Memang sulit ketika kita dihadapkan pada dua hal penting, dan harus menentukan pilihan ; antara berbakti pada orang tua atau memilih pemuda yang dicintainya… Raufan pun tak dapat berbuat banyak. Betapapun ia sangat mencintai Raina…

Seperti pagi hari-hari sebelumnya, Raina selalu menunggu Raufan yang mengantarkan koran dan susu. Namun pagi itu Raufan tak terlihat.

“Mmm… mana Raufan?” tanya Raina pada Si pengantar koran yang datang pagi buta itu.

“Raufan sudah nggak nggantikan saya ngantar koran dan susu lagi, Non. Dia balik ke pekerjaannya yang lama.” jawab Si pengantar koran. “Ini Non koran dan susunya. Misi Non…” lanjut Si pengantar koran itu.

“Iya Mang, Makasih…” ucap Raina, tersirat raut kekecewaan di wajah cantiknya.

Sejak saat itu Raina tak lagi melihat Raufan. Raungan balap motor di malam hari itu pun menghilang dan pemukiman kembali menjadi tenang. Meski demikian, Raina sangat kehilangan.

#

Bermingggu lamanya Raufan menghilang dari kehidupan Raina. Hingga malam itu…
Selepas waktu isya’, samar-samar Raina mendengar suara mesin motor Raufan yang khas. Berhenti tepat di halaman rumahnya.

“Raufan…” Raina berbisik tertahan.

Bergegas ia membereskan mukenanya dan segera memakai pakaian yang pantas. Tanpa sepengetahuan Abah, diam-diam Raina membukakan pintu untuk Raufan. Raufan datang mengendarai motornya, lengkap dengan jaket kulitnya yang kini telah koyak. Raufan terlihat pucat. Ada beberapa gores luka di wajah tampannya. Sesekali, ia menyeka darah yang keluar dari lubang hidungnya. Raufan tersenyum tipis ketika Raina membukakan pintu untuknya.

“Naiklah ke atas motorku. Aku akan membawamu jalan-jalan sebentar saja.” Kata Raufan. Raina menyeritkan kening, masih tak mengerti apa maksud Raufan. Ia hanya terdiam. Raufan turun dari motornya dan menghampiri Raina.

“Selama aku mengenalmu, tak pernah satu kali pun aku mengajakmu pergi jalan-jalan. Naiklah dan aku akan membawamu jalan-jalan sebentar.”  lanjut Raufan.

“Ya, tapi bagaimana kalau besok pagi saja. Kurasa hari ini sudah terlalu malam.” kata Raina.

“Kamu tahu? Suasana malam hari yang hitam dihiasi dengan lampu-lampu kota sangatlah indah…” kata Raufan.

“Ya… Tapi Abah…” Raina memprotes.

Raufan kemudian menuntun Raina menaiki motornya. Raina tak lagi dapat mengelak. Sedetik kemudian mereka berdua sudah meluncur ke jalan raya dan melintasi jalanan di pusat kota. Sesekali Raufan memacu motornya dengan kecepatan tinggi. Ngeri juga Raina dibuatnya. Sepanjang perjalanan Raufan tak mengatakan sepatah kata pun. Begitu juga dengan Raina. Keduanya sama-sama membisu. Tetapi bagi Raina, tak ada satu kata kiasan yang dapat mewakilkan kebahagiaannya ketika itu. Raut wajah Raina terlihat sangat senang. Demikian pula dengan Raufan.

Sebelum larut malam Raufan kembali mengantarkan Raina pulang ke rumah. Ketika memasuki pekarangan rumah, terlihat Abah tengah menunggu di beranda rumah. Rupanya Abah sadar Raina tidak lagi berada di kamarnya.

“Apa yang kamu lakukan pada putri saya?” tanya Abah pada Raufan. “Raina, segera masuk ke dalam!” perintah Abah. Raina tertunduk dan bergegas masuk.

“Tunggu…” kata Raufan mencegah, suaranya terdengar parau. Langkah Raina tertahan oleh ucapan Raufan. “Tolong dengarkan sebentar…” lanjut Raufan.

“Saya benar-benar meminta maaf atas kelakuan saya selama ini, terutama apabila mengganggu ketenangan keluarga ini. Namun kali ini saya hanya ingin meminta tolong, untuk menjaga kedua adik saya. Hanya kedua adik saya yang saya miliki di dunia ini.” kata Raufan.

Abah hanya mengangguk-angguk saja tanpa memperlihatkan ekspresi. Sementara Raina mengangguk pelan meski tak sepenuhnya paham akan maksud Raufan. Abah dan Raina masuk ke dalam ruangan, meninggalkan Raufan sendirian di beranda rumah.

Pagi harinya, Raina bermaksud meminta maaf kepada Abah atas kelancangannya semalam.
“Abah pasti marah sekali. Maafkan Raina, Abah…” Raina menunjukkan penyesalannya. Abah menggelangkan kepalanya, pelan.

“Ada apa, Abah?” tanya Raina.

“Tadi pagi-pagi sekali Mang Asep datang membawa kabar…” kata Abah.

“Maksud Abah, Mang Asep penjaga perkebunan apel milik Abah… memangnya, ada kabar apa Abah?” tanya Raina.

Abah menghela napas panjang, seakan sedang menanggung beban yang teramat berat. Perlu beberapa waktu untuk menjawab pertanyaan Raina.
“Pemuda itu telah berpulang ke rahmatullah…” kata Abah kemudian.

Raina tercekat mendengar kabar itu. “Raufan… Innalillahi wa innailaihi rooji’un…” bisik Raina dengan suara bergetar. “Kapan itu terjadi, Abah…?” tanya Raina.

“Kemarin, ba’da maghrib… kecelakaan motor...”
“Ya Allah…”

“Maafkan Abah, Raina…”

Raina semakin ingin menangis. Tetapi ia hanya menangis dalam kesunyian. Menangis tanpa isak dan air mata. Namun, bukankah tangis yang demikian itu merupakan tangis yang paling menyakitkan…

#

Satu minggu setelah berpulangnya Raufan…

“Raina, apa kamu masih ingat kata-kata pemuda itu malam itu?” tanya Abah kepada Raina. “Abah akan menolongnya, sesuai dengan kata-kata pemuda itu.” lanjut Abah.

“Maksud Abah, Abah bersedia mengurus adik-adik Raufan?”

“Ya, tolong bersihkan kamar kosong di lantai 2. Kamar itu akan ditempati oleh adik-adik dari pemuda itu.” Raina seakan tak mempercayai pendengarannya. Abah bersedia mengurus Bagas dan Ayu, adik-adik Raufan.

“Terimakasih, Abah…” kata Raina. Alhamdulillah Ya Allah

Mulai keesokan harinya, kamar kosong di lantai 2 sudah ditempati dua anak manis. Rumah Abah kini dihiasi kecerian adik-adik Raufan. Anak-anak itu begitu tegar. Meski baru saja kehilangan orang yang mereka cintai namun mereka sama sekali tak mau memperlihatkannya pada orang lain. Raina begitu menyayangi anak-anak itu. Begitu juga dengan Abah, dan Umi. Bahkan mereka telah memutuskan untuk mengangkat Bagas dan Ayu menjadi anak mereka. Raina sangat senang, itu berarti adik-adik Raufan akan menjadi adik-adik Raina juga.

“Kak Raina…” Bagas mengetuk pintu kamar Raina.
“Iya, kemari. Ayo masuk, Bagas dan Ayu.” kata Raina. Bagas dan Ayu masuk ke kamar Raina. Takut-takut.
“Ada apa, Bagas… Ayu…?
“Um… ada kartu ucapan yang ditulis Kak Raufan sebelum meninggal.” kata Bagas.
“Kartu ucapan untuk Kak Raina.” lanjut Ayu.
Bagas menyerahkan sepucuk kartu ucapan kepada Raina. Dibuka dan dibacanya kartu ucapan dari Raufan :

Hari ini Raufan masih sayang.
Salam Sayang.
Raufan.

Sunggguh, Raina sangat tersentuh dengan ucapan pada kartu yang ditulis oleh Raufan. Raina mendekap erat Bagas dan Ayu dalam pelukannya. Agar kedua anak itu juga bisa merasakan bahwa Raina sangat mencintai Raufan. Kedatangan Raufan malam itu tetap menjadi misteri. Biarlah peristiwa itu menjadi kenangan bagi Raina. Malam terakhir Raina berjumpa dengan Raufan.

#

- Cerpen Islami ini ditulis oleh :: Nisya Rifiani / January 2011 -

0 komentar:

Posting Komentar