19 Nov 2011

FIKSI : CATATAN HARIAN RAHASIA

-Nisya Rifiani-

February 12th 2010

PSS SLEMAN VERSUS PSIM MATARAM…
Dua kelompok besar persatuan sepak bola di kota Jogja itu kembali dihadapkan pada sebuah pertandingan. Hari ini para penggila sepak bola Jogjakarta, khususnya penggemar dan pendukung dari kedua klub akan disibukkan dengan pertandingan sepak bola itu. Stadion Mandala Krida pasti akan sesak dipenuhi para supporter maupun simpatisan dari kedua kubu. Belum lagi, para pedagang asongan yang turut menjejali tempat laga itu. Jalanan di sekitarnya dipastikan padat merayap.

Ukh… lagi-lagi kesiangan…
Aku terbangun ketika matahari sudah tinggi, itu pun karena berbunyinya nada dering yang menandakan sebuah short message service masuk ke ponsel-ku. Aku belum sepenuhnya terjaga, tanganku meraba mencari dimana ponselku berada. Ketemu! Kubuka inbox dan segera membaca pesan yang baru masuk.

Selamat pagi dunia :)
Hayo bangun uda pagi….

Oh, rupanya itu sms dari Akhi
Aku segera mengirim pesan balasan pada Akhi. Aku berkata padanya, aku sudah bangun. Begitu cepat ia mengirimkan balasan lagi.

Mau ngampus jam brp???
Akhi pngin ktemu bentar aja…

Kubalas lagi, aku mengatakan akan pergi ke kampus pagi ini, tapi tak tahu jam berapa. Akhi mencari tahu apa saja kegiatanku, ia memaksa bertemu denganku hari ini. Dia bilang akan menemuiku di kampus jika pekerjaanku sudah selesai. Aku iya-kan permintaannya.

Aku keluar rumah sekitar pukul sepuluh pagi, sudah sangat siang –sebenarnya. Kendaraanku melaju ke kota, tapi aku tak ke pergi kampus seperti yang kukatakan kepada Akhi tadi. Melainkan menuju ke sebuah perpustakaan umum yang terletak di tengah kota Jogja. Kubuka komputer jinjing yang kupinjam dari Abbi dan mulai mengerjakan artikel yang rencananya akan dimuat di sebuah media massa remaja terkemuka di kota ini. Beberapa lama aku tekun dengan pekerjaanku, aku melirik jam yang tergantung di pergelangan tangan kananku. Setengah dua belas siang. “Akhi jadi menemuiku nggak ya???” tanyaku dalam hati, cemas menantinya.

Kulirik ponsel yang kuletakkan di samping laptop, hampir bersamaan dengan masuknya satu pesan. Akhi lagi… Kubaca, isinya menanyakan aku dimana dan penundaan waktu berjumpa karena Akhi harus sholat jum’at dulu. Aku mengatakan dimana kuberada, dan menyuruhnya tak usah buru-buru menemuiku. Toh, aku tak akan kemana-mana dan tetap menunggunya, di sini.

Akhi datang kepadaku sesaat setelah shalat jum’at berakhir. Saat itu hari sedang hujan. Tak terlalu deras tapi kurasa hujan itu turun di setiap sudut kota, merata, dan tak kunjung berhenti. Akhi datang, memberiku senyum dan langsung mengambil tempat duduk di sebelahku. Seperti biasanya, Akhi selalu memulai pembicaraan terlebih dahulu, mengajakku mengobrol. Selama beberapa lama kami bercengkerama, lalu Akhi mengeluarkan sebuah gelang tangan milikku, berwarna merah yang dihiasi liontin berinisial A ; namaku. Oh… aku mengira sudah menghilangkan gelang tangan itu, rupanya gelang itu tertinggal ketika aku mengantarkan masakan buatanku ke rumah kontrakan Akhi. Akhi bermaksud mengembalikannya. Aku senang menemukannya kembali dan segera memakaikannya di pergelangan tangan kiriku.

Akhi mengamatiku, kemudian mengeluarkan satu benda lagi dari sakunya dan menaruhnya dihadapanku. Sebuah kalung etnic berwarna merah menyala, kesukaanku.

Happy Milad…

Ucap Akhi, sambil memandangku, dan tersenyum… manis… –pikirku…

Sesaat, aku tak mampu berkata apapun. Hanya bisa memandang matanya yang menatapku lembut. Kemudian aku memberikan senyum termanisku hanya untuknya.

Jazakkumullah Khairan Katsir… kataku lirih padanya.

Kukira, Akhi tak ingat peringatan milad-ku hari ini. Kulayangkan kesahku itu padanya. Tapi ia membantah, jelas ia tak melupakan hari lahirku, katanya. Padahal, dalam ingatanku tak pernah sekalipun kuberitahu tanggal dan bulan kelahiranku tapi ia mengingatnya dengan jelas. Mungkin Akhi tahu dari facebook, atau sengaja mengingatnya ketika aku pertama kali memperkenalkan diri dulu, pikirku. Ia panjatkan doa dan harapan untukku. Aku mengamini.

Ia meminta maaf, karena kado ulang tahun untukku tak dibungkus sebagaimana mestinya. Laki-laki sering malas, katanya. Ia kemudian banyak bercerita. Mengisahkan kegiatan-kegiatannya selama kami tak bertemu. Bercerita ketika ia pulang kampung, bercerita ketika ia berlibur ke pulau bali dan lombok, dan bercerita rencana kegiatannya bulan depan. Akhi menawariku makan siang. Sayangnya, Akhi sedang berpuasa, karena ada yang sedang ia inginkan, katanya… Tak kutanya mengapa, itu urusannya dengan Allah. Dan aku enggan mencampurinya.

Akhi bertanya kepadaku, mengapa saat itu aku mengenakan jilbab. Aku tampil manis menemuinya dengan mengenakan jilbab, untuk pertama kalinya selama kami saling mengenal. Kujawab, iseng saja… mulai sekarang adik berniat mengenakan jilbab terus… lanjutku. Akhi memandangku, membuat aku merasa : aneh. “Adik yakin mau pakai jilbab terus???” tanya Akhi. Aku memandang Akhi, tak percaya Akhi tak memercayaiku. Aku enggan menjawab pertanyaannya.

Jam empat sore…
Hujan belum berhenti ketika kami akan beranjak meninggalkan perpustakaan itu. Tapi, kami sudah terlalu lama berada di tempat itu. Maka, kami putuskan untuk pulang. Kemudian bertemu kembali selepas waktu maghrib untuk makan malam bersama. Dengan catatan : kalau tidak hujan.
Kami berjalan beriringan, keluar menuju tempat parkir kendaraan. Akhi tak mengantarku pulang, aku selalu membawa kendaraan sendiri. Lagipula kami pernah sepakat, jika mau berpergian bersama, pakai motor sendiri-sendiri! Nggak boleh berboncengan! Sebuah perjanjian di awal pertemanan, juga sebagai hijab supaya kami tetap bisa menjaga diri dan terhidar dari dosa walau sekecil apapun.

Kami sempat menunggu beberapa menit tetapi hujan tak kunjung reda. Aku ingin segera sampai di rumah, nekat saja aku ingin menembus tirai hujan itu. Aku tak membawa jaket, sedang aku enggan mengenakan mantel hujan. Akhi berniat meminjamkan jaket yang dikenakannya padaku.
“Mau pakai jaket Akhi tidak?” tanya Akhi.
“Tidak…” jawabku sembari menggeleng pelan. Ah, Akhi memang suka bercanda. Dia pasti tahu kalau jaketnya tak akan muat dipakaikan pada tubuhku yang gendut.
“Lihat, jaket Akhi besar.” kata Akhi lagi.
Tapi aku tetap menggeleng dan berkata, tidak…

Syukron, ya Akhi… kataku dalam hati, lagi…

Aku pulang ke rumah dengan hati senang. Kembali melewati stadion yang digunakan sebagai ajang pertempuran dua kesebelasan itu. Ramai. Syukurlah pertandingan belum berakhir sehingga aku tidak terjebak dalam hiruk pikuk supporter hijau biru serta kemacetan yang ditimbulkannya. Sampai di rumah, aku sedikit basah. Kulihat adik laki-laki-ku sedang menonton pertandingan sepak bola. Rupanya duel antar kesebelasan Elang Jawa melawan Laskar Mataram tadi sedang disiarkan secara live di salah satu stasiun televisi nasional. Keduanya sama-sama tak mau mengalah dan berjuang demi hidup-mati tim. Bagi mereka hari itu adalah hari yang berat, meski demikian hari itu merupakan hari yang indah bagiku. Hari yang menggembirakan, karena pada peringatan milad-ku Akhi ada untukku. Hanya untukku. Aku senaaang sekaliii… Alhamdulillah

Syukron, Akhi
Akhi yang menyayangiku… –mmm… kurasa…
(Aku tidak tahu apakah Akhi benar-benar menyayangiku atau tidak???)
Tetapi sampai kapan pun aku akan menyayangi Akhilillahi ta’alaInsyaallah… :) 

#

- Cerpen Islami ini ditulis oleh :: Nisya Rifiani / February 2010 -

0 komentar:

Posting Komentar