15 Nov 2011

FIKSI : KETIKA AZAN BERKUMANDANG

 - Nisya Rifiani -

BRAKKK!!!

Firdaus menutup pintu mobilnya dengan kasar. Ia bergegas masuk ke dalam sebuah rumah mewah di kawasan elite. Dari dalamnya keluarlah seorang wanita hampir setengah baya. Wajahnya pucat tanpa make-up, menyambut kedatangan Firdaus, anak tunggal yang amat disayanginya.

"Firdaus, kenapa kamu jadi begini, nak?"
Tak menghiraukan pertanyaan ummi, Firdaus menghindar. Ia masuk ke dalam rumah dan merebahkan diri di sofa biru tua di ruang tamu. Dari bibirnya tercium bau alkohol yang sangat menyengat.

"Firdaus..."
Ummi berkata dengan lemah nyaris tak terdengar. Sungguh wanita itu sangat menyayangi putranya.

"Ada apa, ummi...? Apa kau mau menambah penderitaan dan siksa batinku?! Belum puaskah kau dengan rasa perih hatiku?!"
Firdaus menjawab ummi tanpa sopan santun.

"Firda anakku... ummi sangat menyayangimu... tak mungkin ummi gembira dengan semua kesedihanmu..."
Tak kuasa lagi ummi menahan isak tangisnya, merasakan sakit. Lebih menyakitkan dari ditusuk dengan sembilu.

"Ah... Persetan dengan semua itu...!"
Firda berteriak. Tak memperdulikan suaranya yang memecah keheningan malam.

"Ya Allah, bukakan pintu hati putraku agar ia kembali berjalan di jalan-MU... Jangan biarkan ia terjerat di jurang kemungkaran..."
Dalam kesedihannya ummi memanjatkan doa untuk putranya.

"Bohong! Kenapa kau tetap mengatakan kebohongan itu... Mengapa?!"
Firda berteriak tak tertahankan. Ummi semakin pilu melihat kelakuan Firda.

"Bertahun-tahun ummi tega mendustai aku! Kenapa tak kau katakan kepadaku sejak dahulu, bahwa aku ini anak haram, hasil perzinahan, jika kau katakan hal ini sejak dulu, pasti sekarang aku tidak sesedih ini... kenapa ummi?"

Ummi terdiam seribu bahasa.

"Aku selalu bertanya-tanya siapakah ayahku, dimana dia berada... walaupun aku tidak pernah menemukan jawabannya, aku tetap membusungkan dada sebagai Taufik Firdaus. Tak kuperdulikan omongan teman-teman yang mempergunjingkanku dan tetap percaya pada kata-kata ummi bahwa ayah telah menginggal karena kecelakaan sebelum aku lahir. Ah... betapa bodohnya aku mempercayai semua itu! Sekarang, yang kutahu itu adalah kebusukan, kebohongan yang kau ciptakan! Dahulu aku mencintaimu, menghormatimu, menyayangimu dan memujamu... tapi kini semuanya telah berubah, terpecah belah hanyut oleh ombak dusta yang ummi ciptakan sendiri. Betapa kecewanya aku, ummi!"

Kata-kata Firda terhenti.
Firda mengungkapkan segala isi hatinya yang menyesakkan dada, tak lagi bisa ia pendam. Jantungnya berdetak amat keras dan semakin cepat...

Peristiwa yang tak mengenakkan itu, berawal dari pertemuan yang tak pernah disengaja antara Firdaus dengan teman lama ummi semasa kuliah di sebuah universitas negeri ternama di kota pelajar itu. Teman lama ummi mengisahkan dengan jelas mengapa waktu itu ummi tak dapat meraih gelar kesarjanaannya - yang dikarenakan di DO-nya ummi, lantaran ummi hamil di luar nikah. Ayah Firdaus pergi entah kemana, tak mau mempertanggungjawabkan perbuatannya. Ummi yang masih muda itu diusir oleh keluarganya karena telah dianggap membawa aib dan menorehkan arang pada kehormatan keluarganya.

Berita yang begitu tiba-tiba itu tentu saja sangat mengejutkan bagi Firda. Hal itu membuatnya shock dan kehilangan arah. Firda tak dapat menerima kenyataan, apalagi hal itu dilakukan oleh ummi. Firda merasa dibohongi, dibelakangi selama bertahun-tahun membuatnya merasa tak berarti.

Ummi bersimpuh diahadapan putranya.

"Ummi tau, ummi memang bersalah. Tapi, tidak adakah pintu maaf untuk ummi? Demi Allah, maafkan ummi, anakku..."
Ummi meratap.

Firda tak menunjukkan sikap santun, matanya menerawang jauh.

"Ummi memang menjijikkan dan tak pantas jadi ibumu. Namun engkau adalah titipan Allah yang sangat berarti, Firda... Kurelakan semua apa yang aku miliki di dunia ini untukmu, anakku..."
Ummi berkata, masih bersimpuh di hadapan anaknya. Tatapannya sendu, sedih karena harus menerima kenyataan pahit, penolakan dari putranya sendiri.
Luka lama yang telah mengering terkelupas sendiri, namun lebih parah dari sebelumnya.

"AH..."
Firda bangkit dari kursinya dan dengan langkah sempoyongan meninggalkan ibunya dan keluar rumah.

"Aku bosan neraka keluarga ini...!!!"

"Mau kemana lagi kau, nak..."

Tanpa mengindahkan pertanyaan ibunya, Firda tetap melangkahkan kakinya keluar rumah. Firda menyalakan mesin mobilnya, sedetik ia sudah meluncur ke jalan raya. Ummi hanya bisa menatap kepergian anaknya...

"Aku manyayangimu ummi, sungguh... tapi aku malu, dan karena aku ini anak haram..."
Hati kecil Firda berkata, meronta dalam kebimbangan...

#

Sudah sejak tiga hari yang lalu Honda Jazz merah keren itu menyisir jalan-jalan kota pelajar itu dalam kebingungan. Firdaus pengendaranya. Di wajahnya yang lesu terpancar rasa kerinduan kepada ummi.

Firda terhenti di depan sebuah panti asuhan. Para santri terlihat tengah bersiap-siap menunaikan shalat maghrib di sebuah masjid dalam komplek yang sama. Mereka berjalan beriringan sambil bercanda, ada yang melagukan nasyid, yang lain berjalan sambil bertasbih.

Bangkit kembali dalam ingatan Firda tentang masa kecilnya yang ia jalani bersama dengan ummi. Bayangan melewati suka-duka, tertawa dan bercanda bersama. Ummi merawatnya dengan penuh kesabaran dan curahan kasih sayang. Teringat saat itu ummi mengajarkannya shalat, atau menuntunnya membaca doa.

Merenungkan perjuangan ummi ketika saat itu perekonomian belum memadai seperti sekarang. Ummi berjualan kue, menjajakannya dari satu rumah ke rumah yang lain sambil menggendong Firda kecil. Betapa berat perjuangan ummi untuk membesarkan dan mendidik Firda seorang diri dengan staus yang disandangnya.

"Kenapa ummi mau melakukannya? Toh, ummi dapat membuangku... atau menitipkanku di panti asuhan... atau menggugurkan kandungannya... Tapi, mengapa ummi memilih untuk melahirkan bayinya, dan membesarkannya sendirian...?"
Firda mengungkap tanya.

Berkumandangnya azan maghrib itu meluluhkan hati Firdaus yang beku.

"Ya Allah, maafkan hamba-MU ini. Aku telah menjauhkan diri dari-Mu dan durhaka kepada ummi. Maafkan aku ya Allah... maafkan aku ummi..."

Matahari belum tenggelam sepenuhnya, langit masih jingga dan awan masih tegantung di angkasa. Firda melajukan Honda Jazz-nya dengan kecepatan tinggi agar ia cepat kembali ke rumah.

"Ummi, betapa rindunya aku padamu. Aku ingin segera pulang dan meminta maaf kepadamu. Betapapun aku dilahirkan di dunia ini tanpa kehadiran seorang ayah tetapi aku tidak kekurangan kasih sayang..." ungkap Firda penuh penyesalan. Air mata untuk ummi pun terjatuh.

Firda makin melaju dengan kencang.

Tiba-tiba dalam pandangannya terlintas sebuah truk bermuatan penuh. Tak terekam secara jelas dalam ingatannya bagaimana kejadian yang begitu cepat itu. Firda hanya melihat cahaya putih yang menyilaukan mata, dan disusul dengan suara dentuman yang amat keras.

BRAKKK!!!

Firda merasakan beban yang sangat berat menimpa dirinya.

Tak sadarkan diri, dalam keadaan koma ; setengah mati - setengah hidup. Tak ada lagi harapan bagi Firda untuk bertahan.
Ummi mendampingi putranya di sisi ranjang dengan air mata berderai, tak kuasa melihat keadaan putranya yang mengalami kecelakaan parah.

Firda sadar keesokan harinya.

Firda menatap ummi yang menangis tersedu-sedu.

"Assalamualaikum, ummi..."

"Ummi... mengapa engkau menangis...? Afwan... sudah pasti akulah penyebab ummi menangis..."

"Ummi, aku sakit... aku mengantuk..."

"Aku ingin tidur sebentar... afwan, aku tak bisa temani ummi..."

"Ummi, aku melihat keajaiban... Mukjizat Allah, dan Sang Khalik memaafkanku. IA memanggilku. Ummi, maafkan aku..."

Dengan susah payah Firda berbicara beberapa kalimat... Terbata-bata, Firda berkata dengan lemah sambil berbisik, berpamitan kepada ummi.

"Pergilah anakku, sesungguhnya apa yang ada di dunia ini adalah milik Allah SWT..." Ummi berkata ikhlas...

Beduk ditabuh keras-keras ; dan azan maghrib berkumandang di seluruh negeri.
Ketika itu, selembar kain putih menutupi pemuda tampan dalam senyuman yang telah pulang ke rahmatullah.
Taufik Firdaus menghembuskan napas terakhirnya setelah mengucapkan dua kalimat syahadat.

Ummi tetap menjadi seorang wanita yang kuat dan tegar. Berdiri pada kedua kakinya, berpegang tegus kepada Islam dan Allah SWT. Mendoakan putranya dalam setiap shalatnya. Hidup merantau sendirian di dunia ini.

#

- Cerpen Islami ini ditulis oleh :: Nisya Rifiani / November 2004 -

0 komentar:

Posting Komentar