21 Nov 2011

FIKSI : SECARIK KEPERCAYAAN

-Nisya Rifiani-

KETIKA pulang dari pengajian ahad sore hari itu, aku tidak lantas buru-buru menuju ke tempat kos. Aku meluangkan waktu sebentar untuk berdiskusi bersama ustadz, yang mengisi pengajian kali itu. Ya, buta akan kajian-kajian islami membuatku haus akan siraman rohani.

Kegerahan itu cukup terobati dengan mencoba mengikuti komunitas dan kegiatan berbasis agama, seperti yang kulakukan saat ini. Baik, setelah mendapatkan jawaban yang aku mau, cukup rasanya untuk mengakhiri diskusi singkat itu. Aku berpamitan kepada ustadz, dan tak lupa mengucap syukron.

Kemudian aku melangkahkan kaki keluar masjid, menuju papan pengumuman di samping beranda masjid. Siapa tahu ada kegiatan menarik yang bisa kuikuti, pikirku.

Papan pengumuman itu cukup lebar untuk mempublikasikan banyak informasi. Tapi, rupanya saat ini belum ada yang up-date. Sedikit kecewa, aku berniat pulang saja. Aku berbalik, terlihat seseorang berdiri disampingku –kurasa ia sudah cukup lama berada disana. Ia lalu bertanya kepadaku, tentang kegiatan-kegiatan di masjid itu. Hmm, kuberikan jawaban yang ia mau.

“Saya Zakaria…” tiba-tiba ia mengajakku berkenalan.
“Bagas…” kataku mengucap nama, singkat.

Seterusnya, hanya basa-basi busuk untuk melengkapi proses perkenalan yang tidak pernah direncanakan itu. Meski enggan, aku berusaha menyambut niatnya itu dengan senang hati.

#

Ah, rupanya aku terlelap beberapa saat.

Saat mataku terjaga, aku mendengar suara agak gaduh, asalnya dari luar. Terdengar pula dua orang lelaki sedang bercakap-cakap. Suara itu milik bapak pengelola asrama, seorang lagi suaranya tak terasa familiar di telingaku. Sesaat hening, terdengar bapak pengelola asrama pergi meninggalkan lantai 2.

Penasaran. Kubuka pintu ruanganku dengan perlahan.
Sungguh suatu kebetulan yang mengejutkan, di depan kamarku berdiri sesosok laki-laki yang tidak asing lagi. Ya, Zakaria. Orang yang pernah berkenalan denganku, satu - dua minggu lalu —ketika kami sama-sama membaca pengumuman di samping beranda masjid. Mau apa dia disini? Pikirku bertanya-tanya.

Oh, rupanya dia cuma mau pindah ke asrama ini. Ya, apa lagi?
Suara gaduh tadi ternyata suara Zakaria yang membawa barang-barangnya ke lantai 2. Agak kesulitan, namun berhasil juga.

Saat pertama kali bertemu dulu, aku memang nenerangkan dan memberitahu alamat kos-ku pada Zakaria. Tetapi aku tak pernah berfikir dan membayangkan di benar-benar muncul. Apalagi untuk menempati kamar kos kosong tepat disebelah kamar kos-ku…

Kepindahan Zakaria ke kamar sebelah membuat suasana asrama semakin manusiawi. Dari sekian banyak kamar yang tersedia di lantai 2, sebelumnya cuma dihuni aku dan Dimas saja, tentu bukan sesuatu yang menyenangkan. Apalagi ruangan dan koridor selalu kurang cahaya, membuat tempat itu remang-remang dan terkesan suram. Hiii… horror…

Balkon lantai 2 yang tak pernah terurus dan jarang digunakan pun kini menjadi tempat nongkrong aku dan Zaka, sapaan akrabnya. Hampir setiap malam ia menemaniku jagongan di beranda itu. Tak jarang kami berbicara hingga larut malam, kadang hingga subuh menjelang.

Kita bicarakan segala hal. Kita bicarakan negeri ini…

Kita bicarakan pemimpin-pemimpin yang korup, yang mengumpulkan kekayaan untuk diri mereka sendiri… Sialnya, bisa-bisanya mereka (masih) berada di puncak kekuasaan untuk membodohi rakyat.

Kita bicarakan masyarakat, yang tak pernah terangkat dari kemiskinan… Namun jarang mendapat perhatian dari mereka yang berada.

Kita bicarakan bangrutnya negara ini, yang sebentar-sebentar mengeluh…

Moral bangsa yang bobrok. Generasi muda yang bodoh.

Ah… begitu banyaknya hingga pikiranku sesak rasanya…

Sebelumnya aku tak pernah menyangka, dengan perkenalan yang singkat waktu itu, atau bahkan bisa kukatakan : tak tulus, membuat aku mengenal sosok Zakaria. Membawa ia datang kepadaku, dan melibatkan hubungan pertemanan. Itu yang namanya berjodoh.

#

Tiga bulan mengenal Zakaria belum merubah fikiranku bahwa Zakaria memang orang yang misterius. Meski kuakui, dia orang yang pintar. Dia orang yang cerdas. Ya, pintar dan cerdas dalam segala bidang. Berpengetahuan dan berpengalaman. Penampilannya memang sedikit berbeda. Baju ngaji yang longgar, celana yang sedikit menggantung, dengan janggut tipis di wajahnya. Itu sama sekali bukan fashion!

Ah, sudahlah. Toh, selama berteman denganku ia selalu baik, nggak neko-neko.

Oh, tiba-tiba aku teringat buku milikku yang dipinjamnya bulan lalu. Ia berjanji akan mengembalikannya minggu ini, tapi ia bahkan tak terlihat hingga bulan ini berakhir. Ah, padahal aku membutuhkan buku itu untuk mengerjakan tugas kuliah.

Dimas melewati lorong di depan kamarku. Segera kucegat dia dengan berondong pertanyaan dari dalam kamarku.

“Hei Dimas, dimana Zaka? Apa kamu melihatnya? Semenjak kemarin dia tak terlihat…” aku bertanya pada Dimas.

Sesaat tak ada jawaban. Kemudian Dimas tiba-tiba saja nongol di depan pintu kamarku dengan ekspresi wajah aneh dan kerut yang berlipat di dahinya.

“Lho… apa kamu nggak mendengar kabar, Gas?” kata Dimas balik bertanya. Aku menggeleng kepala.
“Memangnya ada apa?” tanyaku kemudian.

“Zakaria kabarnya ditangkap Densus 88 tadi malam di Grobokan, Jawa Tengah. Dia dituduh sebagai anggota jaringan teroris Al Qaeda yang dulu kerap latihan perang di Aceh. Katanya dia asisten muda dari seorang komandan sayap kanan jaringan itu. Yah, tangan kanan orang penting… Makanya, dari awal aku sudah curiga. Zaka itu kan orangnya misterius dan tertutup sekali. Dia juga sering memasukkan orang-orang berpenampilan serupa ke asrama. Ngakunya mahasiswa semester akhir tapi sama sekali nggak tau dimana kuliahnya, tidak diketahui asal-usulnya, dimana tempat lahirnya. Jangan-jangan teroris… Aku sebetulnya mau menasehati kamu untuk tidak terlalu “terlibat” dengannya, tapi selama ini belum ada kesempatan. Ketika aku berniat mengatakannya kepadamu dia selalu muncul secara tiba-tiba… Nah, sebentar lagi polisi pasti akan datang memeriksa kamar kosnya dan meminta keterangan kita sebagai saksi. Kita bersiap-siap saja…”

Oh… aku shock mendengar perkataan Dimas… Benarkah semua yang dikatakannya???
Mataku berkunang-kunang, pikiranku melayang-layang, dan tubuhku hampir rubuh…
Ya Allah… semoga orang itu bukanlah Zakaria yang selama ini kukenal… semoga orang itu adalah Zakaria yang lain…

#

- Cerpen Islami ini ditulis oleh :: Nisya Rifiani / November 2011 -

0 komentar:

Posting Komentar