13 Jan 2012

FIKSI : SERATUS ORANG KURANG SATU

-Nisya Rifiani-

Alan tersadar secara tiba-tiba. Matanya membelalak lebar, dadanya menekan ke bawah, menahan napas yang sesak. Rasa sakit itu yang membuatnya terbangun. Diaturnya napasnya pelan-pelan, dan sesaat kemudian berangsur-angsur normal. Ia memerhatikan sekelilingnya, serba putih. Rupanya ia tengah berada disebuah ruang rawat di rumah sakit. Tak terlihat seorang pun yang menungguinya.

Ia lalu duduk di sisi ranjang tidurnya, memegangi kepalanya.
“Apa yang terjadi…?” gumamnya pada diri sendiri, sembari mengingat-ingat apa yang telah terjadi padanya.

“Oh, kecelakaan mobil itu…” kenangnya. Rupanya sebuah tabrakan mobil yang menyebabkan ia berada di rumah sakit itu sekarang. Mata Alan memejam, berusaha memutar kembali rekaman peristiwa dalam ingatannya.

Siang itu, pada batas waktu dzuhur…
Alan baru saja bangun dari tidurnya. Ia meraih ponselnya, satu short message service tertera di layar gadget-nya itu. Radit, mengajaknya hang out malam ini. Alan tersenyum saja dan segera membalas sms Radit. Ia menyetujui ajakan Radit, ia lalu bersiap-siap karena sebentar lagi Radit akan menjemputnya.

“Kamu udah sholat ashar belum, tadi kayaknya kamu juga nggak sholat dzuhur deh. Habis dari tadi kamu molor mulu.” ujar mama ketika Alan turun dari kamarnya di lantai 2.
“Nanti, ma. Alan sholat ashar-nya di jalan aja.” jawab Alan sekenanya.
“Nanti kamu juga jangan lupa sholat maghrib. Langsung lanjut isya’ sekalian, biar tenang dijalan.” kata mama lagi.
“Iya, ma. Nggak usah bawel deh.”
“Jangan bilang mama bawel deh.”
“Udah deh ma. Itu Radit udah jemput. Dah mama...” sahut Alan yang kemudian berlalu tanpa basa-basi. Mama hanya geleng-geleng kepala.

Mobil Radit menunggu di halaman rumah Alan. Ketika Alan mendekat, Radit menurunkan kaca mobilnya. Alan sedikit menunduk untuk melihat ke dalam. Terlihat Radit di bangku sopir, Bara disampingnya. Dibelakang, Yoga dan seorang gadis manis tengah melipatkan kakinya, memperlihatkan kedua pahanya yang mulus. Belakangan ia mengenalnya dengan nama Shinta.

“Mau kemana kita?” tanya Alan.
“Masuklah dulu.” kata Radit.
“Kita putar-putar dulu aja. Senang-senang dulu. Lihat, ada mainan baru.” kata Bara sambil mengangkat jempolnya, mengarah ke bangku belakang. Shinta, gadis yang dimaksud hanya tersenyum-senyum saja.
“Setelah puas, baru kita ke klub malam.” sambung Yoga.
“Oke.” Alan memasuki mobil dan mengambil tempat duduk di sebelah Shinta.

Sepanjang sore itu Alan dan teman-temannya menyusuri jalan-jalan pinggiran ibu kota. Kehadiran Shinta menambah semarak acara jalan-jalan mereka. Apalagi gadis itu tampak tak malu-malu lagi untuk memeluk, mengecup, mencium, mencumbu, bahkan bermesraan dengan Alan dan teman-temannya.
Menjelang malam, mereka memarkirkan mobil di sebuah klub malam terkenal, sebuah pilihan dari sekian banyak klub-klub malam yang ada di Jakarta. Memasuki tempat dugem itu, langsung saja mereka menikmati meriahnya pesta hedonisme. Menegak aneka minuman beralkohol. Menari hingga pagi menjelang.

Saat perjalanan pulang dini hari itu-lah, Radit yang tengah terpengaruh minuman keras tidak dapat mengendalikan mobil yang dibawanya hingga menabrak pembatas jalan raya dengan kerasnya. Mobil yang mereka tumpangi terguling-guling, dan terseret sejauh seratus dua puluh meter. Radit yang menjadi sopir, Bara yang ada di sampingnya, serta Alan, Shinta dan Yoga yang duduk di bangku belakang langsung tak sadarkan diri.

Setelah sedikit memaksakan otaknya bekerja lebih keras merangkai potongan-potongan memori itu, akhirnya Alan dapat mengingat seluruh kejadian yang menimpanya.

Alan bangkit dari ranjangnya. Tubuhnya terasa ringan. Aneh, padahal luka-luka di beberapa bagian tubuhnya seharusnya menimbulkan rasa yang luar biasa sakit. Alan menuju ke pintu, hendak keluar ruangan. Tiba-tiba ia dikejutkan oleh seseorang – tidak ia kenal. Tubuh orang itu memancarkan cahaya putih kuning, silau.

“Siapa itu?” tanya Alan. Ia mengangkat tangannya ke atas, berusaha menghalangi cahaya yang menyorot tepat ke matanya.

Orang tadi berjalan mendekat. Sosoknya tegap. Pakaiannya longgar serba putih. Namun wajahnya tetap tak terlihat jelas karena banyaknya cahaya yang memancar dari tubuhnya.
“Lihatlah dirimu.”  kata ‘manusia cahaya’ itu.

Alan membalikkan badan, dan kembali terbelalak melihat tubuhnya sendiri sedang terbaring di atas ranjang reot rumah sakit. Raganya terkulai lemas. Sebelah kelopak matanya membuka sedikit. Kain perban melingkari kepalanya. Terdapat luka-luka pada beberapa bagian tubuhnya. Selang infus menancap dipunggung tangan kirinya. Alat bantu pernafasan dipasangkan pada mulutnya. Terdapat alat digital yang dapat memperlihatkan aktivitas jantung dan pernafasannya. Di samping ranjangnya berdiri tabung oksigen besar berwarna biru.

“Apa kamu malaikat?” tanya Alan. Si ‘manusia cahaya’ hanya menggeleng.
“Apa yang terjadi? Apa aku mati?” tanya Alan lagi.
“Belum.” jawab ‘manusia cahaya’.
“Koma?”
“Ya.”
“Lalu, apa yang sebenarnya terjadi?”
“Kau sedang berada di ambang batas. Seratus orang yang malam ini mendoakan kesembuhanmu, akan membantumu untuk bisa ‘hidup’ kembali. Waktunya hanya tiga jam saja. Dan aku akan menemanimu selama waktu itu.”
“Kalau tak sampai seratus, apa yang akan terjadi?”
“Kau akan mati.”

Alan kemudian pergi bersama ‘manusia cahaya’ itu . Mencari seratus orang yang mendoakannya malam itu. Dimulai dari lingkungan terdekatnya…

Rumah Alan, gelap dan sepi… tak ada satu pun lampu yang menyala. Jelas tak ada orang di dalamnya. Alan terlihat kecewa. Lalu Alan dan ‘manusia cahaya’ berlalu meninggalkan rumah. Namun sayup-sayup ia mendengar sebuah doa, asalnya tak jauh dari rumahnya.

Ibu Yani, janda separuh baya yang tinggal di seberang rumahnya, yang tak pernah ia hiraukan.
Satu orang…

Alan bergembira sedikit. Ia kembali melakukan perjalanan.

Amin, seorang pemuda pengangkut sampah yang selalu dilecehkannya karena lebih miskin darinya.
Dua orang…

Dara, gadis dari masa lalunya, yang sangat mencintainya namun ditinggalkannya secara tidak layak.
Tiga orang…

Mang Cecep, pesuruh sekolah yang kerap ia bully semasa sekolah dulu.
Empat orang…

Aling, sepupunya yang selalu ia paksa untuk menuruti semua keinginannya.
Lima orang…

Dan seterusnya…
Alan dan ‘manusia cahaya’ terus berkeliling mencari orang-orang yang mendoakan kesehatan Alan.

Sembilan puluh tujuh…
Sembilan puluh delapan…
Sembilan puluh sembilan…

“Waktunya habis. Sudah saatnya kita kembali.” kata ‘manusia cahaya’ itu.

Sembilan puluh sembilan orang. Seratus orang kurang satu. Sudah banyak, tetapi jumlah tak genap tetap tak dapat menyelamatkan hidupnya.

Muncul serentetan penyesalan dalam hati Alan. Teringat betapa ia telah menyia-nyiakan kehidupannya dengan hal-hal yang tak berarti, yang selama ini ia lakukan. Ia sudah terlalu banyak berbalut dosa. Membangkang orang tua. Menghabiskan harta mereka. Menyakiti orang-orang disekelilingnya.
Menikmati minuman keras. Bermain-main dengan banyak wanita. Semuanya hanya hura-hura dan euforia di dunia fana yang ini. Apa lagi baktinya kepada Tuhan Yang Maha Esa? Sama sekali tak ada cacatannya dalam sejarah kehidupan Alan. Orang-orang yang tengah mendoakannya justru berasal dari kalangan yang kerap ia remehkan, ia kucilkan, ia lecehkan, dan ia sakiti. Ia merasa amat malu. Kini, ia lebih mengerti betapa berharganya hidup sebagai orang yang bertanggung jawab.

Alan dan ‘manusia cahaya’ kembali ke rumah sakit tempat Alan dirawat. Ketika Alan sampai di ruangannya, lagi-lagi sebuah pemandangan kembali mencengangkannya. Terlihat mama duduk tertunduk di tepi ranjang reot tempat Alan dibaringkan. Tangan kanan mama memegang Al-Quran, rupanya telah dibukanya halaman demi halaman. Sedang jemari tangan kirinya menggenggam tasbih. Mama tampak kelelahan. Rupanya mama terus berdoa untuk Alan. Meski lirih, doa mama terdengar tulus.

“Alan, doa dari ibumu adalah yang doa yang terakhir. Doa itu-lah yang kini dapat menyelamatkanmu.” kata ‘manusia cahaya’ itu.

Si ‘manusia cahaya’ menjauh pelan-pelan, semakin lama semakin menghilang. Cahaya putih kuning itu pun sirna secara perlahan. Berganti dengan keremangan, semakin lama semakin gelap. Dan akhirnya kegelapan itu membutakan mata Alan. Hitam.

Saat Alan membuka mata, ia kembali melihat cahaya putih kuning itu. Oh, rupanya hanya pendar cahaya lampu neon yang bercampur dengan warna matahari senja yang berasal dari jendela kamar yang tak tertutup oleh tirai. Sesaat ia hanya memandangi langit-langit kamar, lalu kepalanya menengok kearah samping dan memanggil mama.

“Subhanallah, terimakasih ya Allah… Alan telah membuka matanya!” seru mama tertahan.
“Maafkan Alan, mama…” kata Alan lirih.
“Iya, sayang. Mama udah maafkan kok.” jawab mama.
“Maafkan Alan…” ucapnya lagi.
“Iya, iya… Kamu tenang dulu, mama panggil dokter yang merawatmu…” mama buru-buru berlari keluar ruangan. Matanya berlinang air mata, namun ia berbahagia karena anaknya sadar kembali setelah mengalami koma selama satu bulan penuh.

Alan kembali memejamkan mata. Air matanya mengalir deras. Terbesit taubatan nasuha di hatinya. Ia bertekad untuk memperbaiki hidupnya. Ia sangat bersyukur karena Tuhan telah memberikan kesempatan kedua untuknya. Lebih beruntung dibanding dengan ke-empat temannya yang lebih dahulu tewas dalam kecelakaan maut waktu itu…

#

- Fiksi Islami ini ditulis oleh :: Nisya Rifiani / January 2012 -

0 komentar:

Posting Komentar