27 Feb 2013

Kuliah Komunikasi - Studi Mediasi 2 (Review)

KULIAH KOMUNIKASI


STUDI MEDIASI (Bagian II)
Review by : Nisya Rifiani

3.    Strategi mediasi dalam upaya menjembatani media dengan anak-anak
a.    Coviewing
Coviewing merupakan kegiatan menonton televisi bersama anak-anak, tanpa adanya diskusi tentang isi maupun penggunaan media. Coviewing dipandang memiliki dampak yang meyakinkan dalam mengubah perilaku dan behavioral anak-anak. Pada satu sisi, coviewing meningkatkan rasa nyaman anak-anak terhadap program siaran televisi yang mereka tonton sebab anak-anak menyukai kegiatan menonton televisi bersama orang tua mereka(1).
Pada sisi yang lain, coviewing dinilai dapat meningkatkan dampak negatif media seperti perilaku agresif ; hal ini karena kurangnya komunikasi dan diskusi bersama anak. Kurang aktifnya orang tua terhadap interaksi anak dengan televisi dapat diartikan oleh anak sebagai semacam persetujuan atas isi televisi (persetujuan positif diam).
Amy Nathanson menjelaskan, pada saat orang tua dan anak menonton tayangan televisi yang bermuatan negatif dan orang tua tidak memberikan komentar yang bertentangan dengan apa yang ditampilkan, anak-anak dapat menafsirkan kehadiran orang tua dalam ruang tersebut adalah sebagai tanda bahwa mereka menyetujui tayangan tersebut.
Nathanson kemudian merekomendasikan kepada para orang tua bahwa mereka harus selalu memberikan perhatian dalam bentuk nasihat-nasihat dalam mediasi anak-anak sebagai usaha dalam mencegah dampak negatif media yang tidak diinginkan. Meski strategi coviewing banyak diterapkan orang tua, kegiatan ini dinilai bukan merupakan strategi dalam memasyarakatkan literasi media.

b.    Mediasi Restriktif (Restrictive Mediation)
Mediasi restriktif merupakan peraturan-peraturan yang ditentukan orang tua mengenai pola konsumsi televisi yang diterapkan kepada anak-anak. Peraturan tersebut dapat berupa kebijakan program apa yang diperbolehkan atau tidak diperolehkan ditonton dan kapan waktu yang diperbolehkan atau tidak diperbolehkan untuk menonton.
Orang tua bukan hanya mengontrol program dan waktu menonton anak-anak tetapi juga dapat memberlakukan syarat-syarat yang harus dipenuhi sebelum menonton, misalnya mengerjakan PR terlebih dahulu, dan lain sebagainya. Pada kalangan orang tua, peraturan ini biasanya diterapkan bukan karena adanya kesadaran umum tentang terpaan media, tetapi lebih karena adanya ketakutan terhadap dampak negatif media, misalnya kekerasan, agresivitas, maupun seksualisme.
Menurut Valkenburg meski banyak orang tua yang mengutamakan menggunakan strategi mediasi restriktif, coviewing merupakan strategi yang paling sering dilakukan untuk ‘mendampingi” jenis mediasi ini. Penerepan kedua strategi secara bersamaan dinilai efektif dalam usaha mediasi atas televisi(2).
Seperti dikatakan oleh Hogan, Steyer, Strausburger, dan Wilson, mediasi restriktif yang menggunakan pembatasan, aturan, dan batasan pada media adalah strategi yang sering direkomendasikan kepada para orang tua.

c.     Mediasi Aktif (Active Mediation)
Mediasi aktif merupakan percakapan-percakapan yang dilakukan antara orang tua dan anak mengenai tayangan televisi berupa komentar-komentar mengenai isi siaran program televisi dan mendiskusikannya bersama anak.
Nathanson mengkategorisasikan mediasi aktif menjadi tiga jenis, yakni aktif-positif (active-positive), aktif-negatif (active-negative), dan aktif-netral (active-neutral). Mediasi aktif-positif mengacu pada penilaian orang tua dengan mendorong dan memberikan komentar-komentar positif mengenai apa yang ditonton anak di televisi. Mediasi aktif-negatif mengacu pada penilaian orang tua yang cenderung negatif, yakni percakapan secara umum berada dalam konteks negatif. Mediasi aktif-netral merupakan jenis mediasi aktif yang melibatkan penyediaan informasi tambahan atau instruksi bagi anak mengenai tayangan televisi.
Mengacu pada penilaian orang tua terhadap kritik atas televisi, seperti berdiskusi tentang dampak negatif program siaran dan iklan. Nathanson mengkategorisasikan mediasi aktif menjadi tiga jenis untuk membantu mengklasifikasikan dan menerangkan lebih rinci jenis mediasi yang diterapkan oleh orang tua terhadap anak.
Contoh mediasi aktif-positif misalnya ketika orang tua memberikan komentar-komentar positif mengenai apa yang ditonton anak di televisi seperti berkata “I love this show” atau “He sure is cool”. Contoh mediasi aktif-negatif misalnya ketika orang tua memberikan pernyataan-pernyataan dalam konteks negatif mengenai apa yang ditonton anak di televisi seperti berkata “That’s not real” atau “That show is wrong”.  Contoh mediasi aktif-netral misalnya ketika orang tua menyediakan informasi tambahan atau instruksi bagi anak mengenai isi televisi seperti berkata “What do you think will happen next?” atau “This show is filmed in New York”(3).
Peter Nikken memberikan penamaan yang berbeda untuk mediasi aktif (active mediation) yakni Evaluative & Instructive. Sedangkan Livingtone dan Pasquire berpendapat mediasi akan lebih efektif dengan cara berbicara dengan anak-anak untuk membimbing mereka daripada memberlakukan peraturan dalam pola menonton televisi(4).
Anak-anak dari orang tua yang menggunakan mediasi aktif belajar lebih banyak dari isi televisi yang bermuatan pendidikan dan mendapatkan pengalaman positif yang diterapkannya dalam perilaku bersosial. 
Beberapa studi tentang efek mediasi aktif pada anak-anak telah menunjukkan hasil yang positif. Orang tua cenderung mengabaikan isi dan memilih untuk memindahkan saluran televisi daripada harus membahas isi tersebut dengan anak-anak mereka. Mediasi aktif telah direkomendasikan untuk menjadi bentuk yang paling efektif mediasi televisi orang tua (5). Anak-anak yang memiliki orang tua dengan tingkat keterlibatan yang lebih tinggi dengan media. Mereka merasa lebih positif tentang berbicara dengan orang tua tentang media (6).
Strategi mediasi aktif adalah kegiatan yang berkaitan erat dengan literasi media dan ditampilkan sebagai jenis mediasi paling efektif bagi orang tua. Seperti dikatakan oleh Fujioka & Austin, Livingstone, Nathanson, dan Pasquier.

Mediasi aktif, the type of mediation most closely aligned with media literacy, is shown to be most effective type of parental mediation(7).

Pada studi dan penelitian mediasi orang tua telah banyak mengadopsi tiga setting kerangka berfikir tersebut. Orang tua dapat menerapkan kegiatan mediasi dengan mengkombinasikan ketiganya.
Pada beberapa literasi menyebutkan strategi lain dalam mediasi yaitu unfocused mediation (mediasi tak berfokus) atau social co-viewing. Seperti dikemukakan oleh Peter Nikken, Unfocused Mediation atau Social Co-viewing diterjemahkan sebagai ‘mediasi tak bergokus’ : Menonton televesi bersama-sama dan berdiskusi tentang program siaran televisi secara umum. Dikenal dengan unfocused mediation (mediasi tak berfokus) atau social co-viewing.
Sedangkan menurut Van der Voort et al., mediasi tak berfokus bukan merupakan kegiatan mediasi karena orang tua menonton program siaran televisi yang sama dengan anak-anak mereka, tetapi merupakan suatu bentuk kesadaran dalam membimbing dimulai dari orang tua dan anak-anak(8).

The unfocused mediation in these families, however, turned out to refer to “discussing shows” and not to “watching together”. In later studies more varieties of unfocused and evaluative mediation were found.

Valkenburg menemukan tipe lain dari mediasi tak berfokus diantara orang tua dengan anak-anak (rating usia 5 - 12 tahun) yaitu ‘conscious co-viewing’ yang merupakan salah satu penamaan dari ‘social co-viewing’(9). Mereka juga menemukan suatu adaptasi dari mediasi evaluatif (evaluative mediation) yakni mediasi instruktif (instructive mediation). Penamaan kembali perlu dilakukan untuk membantu anak-anak memahami pesan dan makna program siaran televisi dan tidak mendiskusikan isi program.
James William Potter menyatakan bahwa konsep mediasi orang tua merupakan sebuah upaya untuk meningkatkan literasi media. Potter kemudian mengemukakan beberapa setting mediasi orang tua atas televisi yakni teknik interpersonal (interpersonal techniques) dan pendidikan publik (public education). Teknik Interpersonal terdiri dari mediasi restriktif, mediasi aktif, dan menggunakan rating.
Dari berbagai penelitian yang pernah dilakukan rating dimasukkan dalam variabel. Namun ternyata orang tua jarang menggunakan rating sebagai salah satu faktor/pedoman dalam mediasi orang tua atas televisi. Orang tua yang menggunakan rating biasanya adalah mereka yang sudah lebih dahulu memonitor secara aktif perilaku menonton anaknya. Selain rating, parental guide digunakan para orang tua dalam usaha memediasi anak mereka.
Parental guide merupakan referensi yang diberikan oleh stasiun televisi sebagai pedoman untuk orang tua dalam usaha mediasi atas program siaran televisi. Parental guide di televisi ditampilkan dalam bentuk gambar atau simbol yang tertera pada pojok kiri atau kanan atas pada layar televisi. Parental guide bisanya dibagi berdasarkan tingkatan umur yakni Anak-Anak (Bimbingan Orang tua), Remaja (Bimbingan Orang tua), Dewasa dan Semua Umur.
#

DAFTAR PUSTAKA
1.    Nathanson. 1999., RobbGrieco and Hobbs. 2009., dalam Mendoza, Kelly. Loc cit.
2.    Valkenburg, 1999., Mendosa, Kelly. Loc Cit.
3.    Nathanson & Botta’s. 2003. Hal. 308 – 309., dalam Mendoza Kelly. Loc cit.
4.    Peter Nikken. Parental mediation of children’s video game playing: A similar construct as television mediation.
5.    Austin,1993 & Nathanson, 1999., dalam Mendoza Kelly. Loc cit.
6.    RobbGrieco dan Hoobs, 2009., dalam Mendoza Kelly. Loc cit.
7.    Fujioka dan Austin 2002; Livingstone 2002; Nathanson 1999; Pasquier 2001., dalam dalam Mendoza Kelly. Loc cit.
8.    Van der Voort, T., Nikken, P., & Van Lil, J. 1992. “Determinants of parental guidance of children’s television viewing: A Dutch replication study”. Journal of Broadcasting and Electronic Media. Hal. 36, 61-74. Dalam Nikken, Peter. Loc cit.
9.    Valkenburg, P., Krcmar, M., Peeters, A. & Marseille, N. (1999). “Developing a scale to assess three styles of television mediation: “instructive mediation,” “restrictive mediation,” and “social coviewing.” Journal of Broadcasting and Electronic Media. Hal. 43, 52-66. Dalam Nikken, Peter. Loc cit.

25 Feb 2013

Kuliah Komunikasi - Studi Mediasi 1 (Review)

KULIAH KOMUNIKASI - 2011 


STUDI MEDIASI (Bagian I)

Review by : Nisya Rifiani



1.    Sejarah perkembangan studi mediasi

Perkembangan studi mediasi sejatinya dimulai sekitar tahun 1980-an di Amerika Serikat. Pada saat kekuatan regulasi dan standar tayangan televisi untuk anak-anak sangat rendah, Pemerintah Amerika Serikat mencoba membendung efek media massa televisi dengan memberikan pengajaran-pengajaran kepada orang dewasa untuk memediasi anak-anak dalam menonton televisi.

Pada tahun 1990 pemerintah Amerika Serikat memberlakukan regulasi tentang televisi yakni Children’s Television Act (CTA). Studi dan penelitian mengenai mediasi kemudian terus berlanjut di tahun 1990-an. Penelitian mediasi orang tua mengkaji lebih dalam bagaimana interaksi antara orang tua dengan anak-anak mereka. Regulasi dan peratingan ini rupanya tidak efektif dalam membendung terpaan media pada anak-anak.

Meski mediasi termasuk dalam studi komunikasi mengenai perilaku bermedia, akan tetapi kajian ini dapat ditemukan dalam studi psikologi perkembangan dan studi perkembangan kognitif.

Mediasi merupakan salah satu upaya memodifikasi atau bahkan mencegah dampak negatif yang ditimbulkan oleh media massa. Lebih spesifik, Bujizen dan Valkenburg mengemukakan bahwa mediasi orang tua menjadi strategi yang efektif dalam upaya mencegah dampak negatif yang ditimbulkan televisi terhadap anak-anak(1).

Upaya ini pada umumnya dilakukan oleh orang tua, akan tetapi berbagai elemen lingkungan anak juga berkewajiban mengupayakan hal serupa. Elemen tersebut antara lain saudara kandung, pengasuh, guru, orang dewasa lain, atau teman sepermainan. Namun, mengingat besarnya peranan orang tua dalam menentukan arah tumbuh kembang anak, istilah mediasi lebih banyak dikerucutkan dalam pembahasan mengenai mediasi orang tua atau parental mediation. Browne (1993; 31) mengemukakan pentingnya peran orang tua dalam kegiatan bermedia anak-anak :



The majority of young children’s experience of viewing television and videos takes place in their own homes and, therefore, parents are likely to help shape young children’s perceptions of the status, value and enjoyment of televisual texts(2).



Bentuk-bentuk mediasi misalnya memberikan komentar mengenai aktivitas alternatif, berdiskusi mengenai isu sosial atau pribadi yang diangkat televisi, dan berbincang ringan mengenai isi televisi. Orang tua, adik, atau kakak bisa menanggapi pertanyaan dengan komentar evaluatif, komentar interpretif, penjelasan mengenai bentuk kode, ataupun diskusi mengenai moral(3). Bentuk mediasi lainnya misalnya membatasi tayangan anak dengan mengikuti pedoman rating dan parental guide.

Setiap keluarga tentunya mempunyai norma yang berbeda dalam penggunaan media terutama terhadap media televisi. Anak-anak paling banyak mengkonsumsi media televisi di rumah, dengan demikian sangat penting peran untuk melakukan mediasi yakni membimbing anak-anak mereka dalam rangka menggunakan, memahami, dan menciptakan media. Menonton televisi bersama, menerapkan sejumlah aturan, dan membahas isi televisi, merupakan mediasi paling umum yang dilakukan oleh para orang tua.



2.    Mediasi Orang tua sebagai Sebuah Konsep

Parental mediation atau mediasi orang tua didefinisikan oleh Encyclopedia of Communication and Information sebagai: semua kegiatan interaksi orang tua dengan anak mengenai televisi. Usaha orang tua dalam mengatasi efek televisi tampaknya masuk definisi dari mediasi orang tua ini(4).

Tidak ada suatu konsesus dalam mendefinisikan makna mediasi orang tua. William James Potter menilai, kurangnya kesepakatan dalam mendefinisikan istilah mediasi memberikan suatu kontribusi terhadap ambiguitas dalam literatur. Bybe, Robinson, dan Turow adalah para peneliti yang pertama kali mengembangkan konsep multidimensi tentang mediasi.



Although researchers have used different definitions and measures of mediation, most of the research shows the same three patterns of mediation as “any strategy parents use to control, supervise, or interpret content”(5).



Warren mengemukakan mediasi orang tua sebagai suatu strategi yang digunakan oleh orang tua untuk mengontrol, mengawasi, dan menafsirkan isi media untuk anak-anak dan remaja(6). Meski para peneliti dan sarjana media massa mengemukakan definisi dan langkah yang beragam, namun secara umum mediasi orang tua dimaknai sebagai: strategi orang tua yang digunakan untuk mengontrol, mengawasi, dan menafsirkan isi media(7).

Meskipun sejumlah individu dapat melakukan mediasi, seperti kakak, adik, peer, dan orang dewasa, istilah mediasi ini sering digunakan untuk menggambarkan interaksi orang tua dengan anak(8). Parenting disini dilakukan oleh orang tua tunggal maupun berpasangan. Karena terdapat banyak konfigurasi untuk keluarga, terdapat banyak pula hubungan parental yang berlainan(9). Demikian pula dalam penelitian ini relasi mediasi yang dimaksud adalah antara orang tua dengan anak. Penelitian ini menggunakan definisi orang tua dan/atau wali dalam arti yang lebih luas, yakni orang tua yang mencakup ibu dan ayah, orang tua tiri, orang tua angkat, kakek, nenek.

Penelitian tentang mediasi telah merumuskan berbagai pengertian mediasi dan telah membedakan berbagai jenis mediasi, faktor yang memprediksi mediasi, beserta efek mediasi. Mediasi atas televisi dapat bersifat langsung maupun tidak langsung. Mediasi yang sifatnya langsung misalnya komentar mengenai aktivitas alternatif, diskusi mengenai isu sosial atau pribadi yang diangkat televisi, dan berbincang ringan mengenai isi televisi. Orang tua, adik atau kakak bisa menanggapi pertanyaan dengan komentar evaluatif, komentar interpretif, penjelasan mengenai bentuk kode, ataupun diskusi mengenai moral(10). Sementara mediasi yang sifatnya tidak langsung misalnya membatasi tayangan anak dengan mengikuti pedoman rating dan parental guide(11).

Selanjutnya, Amy Nathanson bersama-sama dengan para sarjana media massa lainnya memberikan definisi mediasi orang tua sebagai : tindakan nyata yang dilakukan oleh pihak orang tua dalam membatasi efek media massa(12). Nathanson kemudian membagi mediasi orang tua ke dalam tiga setting kerangka berfikir, yakni coviewing, restrictive mediation, dan active mediation(13).

Mengacu pada Nathanson dan Young, coviewing, merupakan kegiatan menonton televisi bersama anak-anak, tanpa adanya diskusi tentang isi maupun penggunaan media. Restrictive mediation, atau mediasi restriktif adalah peraturan-peraturan mengenai pola konsumsi televisi yang diterapkan kepada anak-anak, seperti program apa yang diperbolehkan ditonton dan kapan waktu yang diperbolehkan untuk menonton. Active mediation, atau mediasi aktif - dikenal juga dengan diskusi (discussion) merupakan percakapan orang tua dengan anak mengenai televisi, misalnya mendiskusikan program siaran, isi program dan iklan televise(14).

William James Potter menyatakan bahwa dari analisis literatur terdapat empat macam mediasi yang dilakukan orang tua terhadap anak, yakni non-mediators (yaitu orang tua berbicara kepada anak tentang televisi secara tidak rutin), optimists (diskusi yang utamanya memperkuat isi televisi), cynics (diskusi yang utamanya meng-counter isi televisi), dan selective (diskusi yang menggunakan kedua teknik, baik positif maupun negatif, tergantung kepada situasi)(15).

Coviewing, mediasi restriktif, dan mediasi aktif mempunyai potensi untuk dapat diaplikasikan dalam berbagai media massa, tetapi pada umumnya ketiga strategi tersebut diterapkan pada media televisi. Pada penelitian yang lain, ditemukan penelitian mediasi yang diterapkan pada video gem dan internet (Video Game Mediation dan Internet Mediation). Meski demikian terdapat perbedaan dalam konteks. Tiga jenis mediasi tidak hanya diterapkan oleh orang tua tetapi juga anak-anak yang mulai dewasa (remaja) kepada anak-anak yang lebih kecil.

Tulisan ini berfokus pada strategi mediasi atas televisi. Bagian selanjutnya dari tulisan ini akan menjelaskan tentang tiga jenis umum strategi mediasi yakni coviewing, mediasi restriktif, dan mediasi aktif. Berikut sedikit ilustrasi mengenai strategi mediasi atas permainan video gem dan internet.

#



DAFTAR PUSTAKA

  1. Bujizen & Valkenburg. 2005. Dalam Mendosa, Kelly. 2009. Surveying Parental Mediation: Connections, Challenges and Questions for Media Literacy. The National Association for Media Literacy Education’s Journal of Media Literacy Education. Hal. 28 – 41.
  2. Browne. 1993. Hal. 31.
  3. Schement dalam Rakhmani, Inaya. Loc cit.
  4. Schement dalam Rakhmani, Inaya. Loc cit.
  5. Warren 2001 : 212, dalam Mendosa, Kelly. Loc Cit.
  6. Warren 2001 : 212, dalam Mendosa, Kelly. Loc Cit.
  7. Warren 2001 : 212, dalam Mendosa, Kelly. Loc Cit.
  8. Chen, 1994; 11 dalam Rakhmani, Inaya. Loc cit.
  9. Schement dalam Rakhmani, Inaya. Loc cit.
  10. Parental guide merupakan referensi yang diberikan oleh stasiun televisi sebagai pedoman untuk orang tua dalam usaha mediasi atas program siaran televisi. Parental guide di televisi ditampilkan dalam bentuk gambar atau simbol yang tertera pada pojok kiri atau kanan atas pada layar televis. Parental guide bisanya dibagi berdasarkan tingkatan umur yakni Anak-Anak (Bimbingan Orang tua), Remaja (Bimbingan Orang tua), Dewasa dan Semua Umur.
  11. Nathanson dalam Rakhmani, Loc cit.
  12. Nathanson & Botta. 2005. Dalam Mendosa Kelly. Loc cit.
  13. Nathanson & Young. 2005. Dalam Mendoza. Loc cit.
  14. Nathanson & Young. 2005. Dalam Mendoza. Loc cit.
  15. Potter. 2005. Op Cit. Hal. 313.

23 Feb 2013

Kuliah Komunikasi - Politik dan Kekuasaan



KULIAH KOMUNIKASI ::PENGANTAR ILMU POLITIK (2006)

POLITIK DAN KEKUASAAN
- Nisya Rifiani -

Review dari film dokumenter : Wolf Battlefield
Sutradara : Sanjeev Bhaskar

Politik tidak dapat dilepaskan dari kehidupan seseorang atau suatu kelompok. Begitu juga dengan kehidupan yang dijalankan oleh manusia. Namun ternyata tidak hanya manusia saja yang berpolitik, tetapi binatang pun juga berpolitik. Secara tidak kita sadari, binatang menjalankan kegiatan politik untuk mencapai berbagai tujuan. Misalnya, untuk mendapatkan makanan, wilayah, kekuasaan, dan lain-lain.
Binatang mempunyai otak namun tidak dapat digunakan untuk perfikir sebagaimana otak manusia. Lantas bagaimana mereka berpolitik? Ya, binatang memang tidak dapat berfikir tetapi mereka mempunyai insting kehewanan. Misalnya saja serigala, ia menggunakan insting yang mereka punya untuk bertahan hidup baik di luar, maupun didalam koloninya. Serigala dianugerahi fisik yang sempurna dan kemampuan yang handal, namun tanpa insting yang kuat mereka tidak dapat bertahan hidup.

Gambar : Google
Politik yang dijalankan serigala dapat kita analogikan dengan politik yang dijalankan oleh manusia. Serigala mempunyai indra penciuman yang tajam, sepuluh ribu kali dari kemampuan penciuman manusia. Ia juga mampu berlari 40km/jam. Mereka memiliki teamwork yang baik serta memiliki wilayah yang mereka ciptakan dari jejak-jejak yang berupa bau per-100km yang bisa bertahan selama berminggu-minggu. Sedangkan manusia, selain dianugerahi akal dan fikiran pasti juga mempunyai keinginan dan tujuan yang harus dicapai. Baik serigala maupun manusia sama-sama menggunakan apa yang mereka miliki untuk mencapai tujuan mereka.
Secara sadar maupun tidak sadar serigala telah melakukan kegiatan politik. Misalnya, saat serigala dan koloninya berburu hewan lain untuk mereka makan. Mereka harus tahu apa dan siapa yang mereka buru untuk mendapatkan buruan itu sebagai makanan. Mereka selalu mengamati buruan mereka. Mereka harus tahu mana buruan yang lemah atau tak berdaya kemudian mendesak buruan mereka. Hal ini juga berlaku pada saat mereka mepertahankan wilayah kekuasaan mereka dari koloni serigala lain atau kawanan hewan lain.
Tak berbeda dengan manusia yang berpolitik. Misalnya kegiatan pada partai politik. Partai poitik merupakan suatu kelompok yang terorganisasi yang anggotanya mempunyai orientasi dan cita-cita yang sama. Tujuannya yaitu memperoleh kuasaan politik dengan cara konstitusional untuk melaksanakan kebijakan mereka. Politik binatang dan politik manusia memang berbeda, namun dapat dianalogikan. Pada intinya, terdapat kesamaan pada politik binatang dan politik manusia.

Gambar : Google
Pada resume ini kita tidak akan membicarakan politik binatang, namun kita akan membicarakan politik manusia. Bagaimana manusia berpolitik? Apakah kekuasaan itu? Bagaimana menjalankannya? Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut akan kita temukan jawabannya pada rangkaian tulisan ini.
Pada kajian ilmu politik, kekuasaan (power) merupakan salah satu dari lima konsep pokok ilmu politik. Kekuasaan sendiri dapat didefinisikan sebagai: seseorang atau sekelompok manusia yang mempengaruhi tingkah laku seseorang atau kelompok lain sedemikian rupa sehingga tingkah laku tersebut menjadi sesuai dengan keinginan dan tujuan dari orang atau kelompok yang memiliki kekuasaan itu (1).

Kekuasaan sebagai Inti Politik
Sarjana politik seperti Harold D. Laswell, A. Kaplan, Deliar Noer, Ossip K. Flechtheim, melihat kekuasaan sebagai inti dari politik. Anggapan dasar politik bagi mereka adalah semua kegiatan yang menyangkut masalah memperebutkan dan mempertahankan kekuasaan politik (perjuangan keuasaan/power struggle). Tujuan politiknya menyangkut kepentingan seluruh masyarakat. Hal ini juga berarti bahwa kekuasaan politik dan tujuan politik mempengaruhi satu sama lain dan bergantung satu sama lain.

Kekuasaan Sosial
Pada awalnya kekuasaan sosial timbul karena manusia mempunyai bermacam kepentingan, keinginan, dan tujuan yang ingin sekali dicapainya. Hal itu menyebabkan manusia merasa perlu untuk memaksakan kemauannya atas orang atau kelompok lain demi tercapainya keinginan atau diakuinya eksistensi dirinya. Hal ini menimbulkan perasaan pada dirinya bahwa mengendalikan orang lain adalah syarat mutlak untuk keselamatan dirinya sendiri. Maka dari itu bagi banyak orang kekuasaan itu merupakan suatu nilai yang dimilikinya.
Robert M. Maclver mengemukakan bahwa, kekuasaan sosial adalah kemampuan untuk mengendalikan tingkah laku orang lain baik secara langsung dengan jalan memberi perintah, maupun secara tidak langsung dengan mempergunakan segala alat dan cara yang tersedia. Kekuasaan sosial terdapat dalam semua hubungan sosial (2).

Hal-Hal penting dari definisi kekuasaan :
  • Gejala kekuasaan adalah gejala yang lumrah yang terdapat dalam setiap masyarakat, dalam semua bentuk hidup bersama.
  • Kekuasaan biasanya berbentuk hubungan (relationship). Artinya terdapat satu pihak yang memerintah dan ada pihak lain yang diperintah (the rule and the ruled). Tetapi dalam hal ini tidak ada persamaan martabat (stratifiakasi).
  • Manusia adalah subyek dari kekuasaan sekaligus obyek dari kekuasaan sesuai dengan prinsip memberi dan menerima.
  • Sumber kekuasaan bisa berasal dari kekerasan (fisik maupun non-fisik), kedudukan (posisi dalam masyarakat), kekayaan, kepercayaan, dan lain sebagainya.

Kekuasaan Politik
Kekuasaan politik adalah kemampuan untuk mempengaruhi kebijaksanaan umum (pemerintah) baik terbentuknya maupun akibat-akibatnya sesuai dengan tujuan si pemegang kekuasaan sendiri. Kekuasaan politik merupakan bagian dari kekuasaan sosial yang fokusnya ditunjukkan kepada negara sebagai satu-satunya pihak berwenang yang memiliki hak untuk mengendalikan tingkah laku sosial dengan paksaan. Kekuasaan menyangkut hal-hal sebagai berikut :
  1. Kekuasaan politik mencakup kekuasaan untuk memperoleh ketaatan dari warga masyarakat.
  2. Kekuasaan politik menyangkut pengendalian orang lain dengan tujuan untuk mempengaruhi tindakan dan aktivitas negara di bidang administratif, legislatif, dan yudikatif.
Kekuasaan politik sangan erat hubungannya dengan penggunaan kekuasaan (machtsuitoefening) yang apabila hal ini ditinggalkan, tidak digunakan, atau tidak dijalankan maka kekuasaan politik tidak dapat diwujudkan. Apabila penggunaan kekuasaan itu berjalan efektif maka akan terjadi kontrol kekuasaan (pengendalian/penguasaan) bagi warga masyarakat mamupun aktivitas negara. Untuk menggunakan kekuasaan politik maka dibutuhkan beberapa komponen yang terbentuk dengan sendirinya yaitu penguasa (pelaku yang memegang kekuasaan) dan alat/sarana kekuasaan. Apabila hal tersebut sudah ada maka penggunaan kekuasaan itu dapat berjalan dengan baik.
#

Bahan Bacaan: 
(1) Miriam Budiarjo. 1977. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. 
(2) Robert M. Maclver. 1961. The Web of Government. New York : The Macmillian Company. Hal. 22.