13 Feb 2012

FIKSI : SAYUR ASEM DAN SEPOTONG IKAN ASIN

-Nisya Rifiani-

Pukul enam pagi…
Raufik merapatkan mantelnya erat-erat. Mengenakan sepatu boot-nya satu-satu. Menjinjing tas ranselnya yang berat, kemudian ia memindahkannya ke bahu kanannya. Pagi itu ia sedang bersiap berangkat menuju ke kantor. Sebelum menutup pintu apartemennya, ia sempat melirik ke sebuah meja kayu minimalis di samping pantry mungilnya. Matanya terfokus pada sebuah kartu pos yang tergeletak diatasnya. Hatinya kembali berdebar.

Seminggu yang lalu, kartu pos bergambar lukisan rumah tradisional jawa itu tiba di apartemen Raufik. Rupanya dikirim oleh adik laki-lakinya dari tanah air. Tak banyak berita yang tertulis di atasnya. Hanya mengabarkan bahwa saat ini ibu sedang sakit keras, sekaligus memintanya pulang dalam waktu dekat. Adiknya pasti sudah bosan berkali-kali meminta hal sama kepada Raufik. Setelah beberapa kali telepon dan sms tidak pernah ditanggapinya, akhirnya hanya secarik kertas itu yang datang.

Raufik melenguh perlahan, mencoba menghilangkan rasa sesak yang bertumpuk di dada. Ia lalu menutup pintu apartemennya, dan segera menyusuri jalan-jalan kota menuju tempat bekerjanya. Raufik berjalan dengan cepat, sembari melawan udara yang terasa beku menggigit di musim dingin yang hebat itu. Medio januari tahun ini memang terasa lebih dingin dari tahun-tahun sebelumnya. Salju yang turun begitu lebat, menyelimuti seluruh kota, memutihkan segenap pemandangan, menjadikannya seperti kerajaan negeri dongeng.

Sudah hampir delapan tahun Raufik tinggal di kota itu. Tepatnya, saat ia menerima beasiswa sarjana strata satu-nya setamatnya dari sekolah menengah atas dulu. Tahun pertamanya di negeri orang ia habiskan untuk mempelajari bahasa dan kebudayaan negara itu. Tahun kedua, baru ia mengambil beasiswanya di jurusan teknik di sebuah universitas ternama di kota itu dan belajar dengan sungguh-sungguh. Empat tahun kemudian ia lulus dengan predikat cumlaude.

Raufik kembali mengajukan perpanjangan beasiswa untuk studi strata dua-nya di universitas yang sama. Permohonan beasiswanya diterima dan ia pun kembali ke kampus. Sembari kuliah, Raufik juga bekerja di sebuah perusahaan swasta sebagai junior engineer. Tidak menjadi masalah karena pihak perusahaan tempat ia bekerja mengizinkan karyawannya bekerja sambil kuliah. Peningkatan kinerja perusahaan menjadi alasannya. Memang, di negeri ini kemampuan seseorang di bidang yang spesifik dihargai dengan sangat tinggi.

Raufik sebenarnya tak punya waktu untuk pulang. Kesibukannya bekerja di sebuah perusahaan swasta di perfektur paling sibuk di negara tersebut membuat Raufik tenggelam dalam pekerjaannya. Memang kini ia sangat mencintai perkerjaannya, tapi ia juga banyak kehilangan waktu untuk dirinya sendiri. Waktu terasa cepat sekali berputar. Begitu sibuknya Raufik, bahkan ia tak sempat untuk mencari calon pendamping hidup. Padahal, pada usianya saai ini ia sudah pantas untuk memiliki seorang istri.

Sebenarnya ibu sangat berat melepaskan Raufik untuk menuntut ilmu di luar negeri, dulu. Apalagi menurut ibu negara tempat tujuan Raufik sangatlah jauh dari peradaban orang-orang muslim. Ibu meragukan kehidupan Raufik kelak ketika ia pindah nanti. Bagaimana Raufik dapat bertahan di tengah-tengah mereka?
Saat itu, Raufik bersikeras tetap mengambil beasiswanya meski harus hidup terpisah dengan keluarga. Raufik tidak terlalu menggubris kekhawatiran ibu, dan meyakinkan kepada ibu bahwa ia akan baik-baik saja di sana, nantinya. Pada akhirnya, memang benar kata ibu. Tidak mudah merantau di negeri yang asing. Pada awal kepindahannya, ia merasa sangat kesepian tanpa ibu dan saudara-saudara di dekatnya. Tetapi Raufik menepati janjinya pada ibu untuk selalu menjaga diri dengan tidak meninggalkan kewajiban lima waktunya. Bahkan Raufik mampu melakukan bersama dengan sunnah-nya sekaligus.

Ya, kini sudah hampir delapan tahun Raufik tak bertemu dengan ibu. Raufik tak menyadarinya, ternyata sudah selama itu. Tiba-tiba rasa rindu terhadap ibu bertumpuk begitu saja, memenuhi pikiran Raufik…

#

Bandara Internasional Narita…
Hari itu, meski salju turun tak setebal biasanya tetapi Raufik tetap merasakan hawa dingin yang menusuk sampai ke tulang, membuatnya menggigil.

Raufik terburu-buru menyelesaikan semua urusan boarding‒pass-nya di bandara. Sesaat setelah berada di dalam pesawat, Raufik bernafas lega. Udara hangat dalam pesawat sedikit mencairkan rasa dingin dalam tubuhnya. Raufik pun menanggalkan coat yang dikenakannya, dan melonggarkan ikatan syal yang melilit di lehernya. Ia merebahkan tubuhnya pada kursi empuk layanan maskapai terbaik negeri matahari terbit itu. Raufik berharap bisa tidur sejenak seperti penumpang lainnya. Namun bayangan ibu terus mengikutinya. Ia semakin tak bisa menahan keinginannya untuk segera bertemu dengan ibunya.

Perjalanannya dari Tokyo ke tanah air tentu bukan jarak yang dekat. Ia harus bertahan dalam burung besi yang mengurungnya selama kurang lebih tujuh jam. Bagi Raufik waktu terasa bergerak amat lamban, membuatnya kembali mengingat ibu. Ibu sering sekali memasak sayur asem dan ikan asin kesukaan Raufik – dua atau tiga kali dalam seminggu. Raufik pun tak pernah absen menyantapnya pertama kali diantara saudara-saudaranya. Hmm… berapa ia sangat ingin merasakan kembali masakan ibu itu. Tetapi pasti dengan keadaan ibu sekarang yang sedang sakit dan cepat lelah, ia tidak bisa memasak untuknya.

Ibu tak pernah sekalipun lupa mengingatkan Raufik dan saudara-saudaranya untuk sholat, atau pergi mengaji ke surau. Ibu sendiri adalah orang yang taat dan tekun beribadah. Kewajiban lima waktu berikut sunnah-nya tak pernah terlewatkan. Setiap hari pun ibu selalu khusyuk tahajud di tengah malam. Ibu juga rajin mengaji dan menamatkan Al Quran berkali-kali. Ah… Raufik gelisah mengingat semua itu. Berkali-kali ia melirik arloji di pergelangan tangan kanannya, berharap bisa mendarat lebih cepat. Akhirnya hanya dengan berdzikir bisa membuat Raufik lebih tenang.

Rindu Raufik pada ibu tak tertahankan lagi. Ia ingin segera tiba di rumah.

#

Jogjakarta…
Kota itu tidak banyak berubah. Semuanya serupa ketika terakhir kali Raufik meninggalkannya. Kembali ke Jogjakarta seperti membawa Raufik kembali ke masa lalu. Kota itu telah membesarkan Raufik hingga ia menyelesaikan sekolah menengah atas-nya. Selama itu, tentu begitu banyak kenangan di dalamnya.

Raufik memejam, kembali teringat hari-hari bersama ibu. Ia semakin tak sabar untuk bertemu ibu. Namun ia masih harus bersabar sedikit lagi sebelum akhirnya bisa menemui ibunya di rumah.

Raufik mendorong pagar besi itu. Menyusuri taman-taman, tanaman di sana dipangkas rapi dan ditata dengan serasi. Pada akhirnya ia sampai pada bangunan utama, sebuah rumah dengan joglo kokoh sebagai berandanya.

“Assalamualaikum… Bu, Raufik datang.”  Raufik berlutut di samping tempat tidur ibunya. Diciumnya kening ibu, diraihnya tangannya lalu diusap-usapnya. Dipandangnya wajah ibunya yang sedang terlelap.

Paras ibu masih terlihat cantik, teduh, dan bijak. Meski usia senja telah menghampirinya, tapi ibu tak terlihat tua. Masih seperti dulu, hanya saja kini ibunya sedang berbaring lemah karena sakit.

Pelan-pelan ibu membuka matanya. Rupanya ibu telah terjaga.

“Raufik…” Ibu memanggil dengan lemah.
“Raufik pulang, Bu…” kata Raufik. Ibunya tersenyum. Tangannya mengulur membelai kepala Raufik yang sedang bersimpuh di dekat ranjang ibunya.

“Baru luang hari ini, nak?” tanya ibu. Raufik mengangguk.
“Maaf. Maafkan Raufik karena begitu lama meninggalkan ibu.” kata Raufik penuh penyesalan sembari mengecup tangan ibunya.

“Sudah. Kamu pasti lelah setelah menempuh perjalanan yang jauh. Tadi, ibu sudah memasak sayur asem dan ikan asin untuk kamu makan siang ini.” kata ibu.
“Maaf merepotkan ibu, padahal ibu sedang sakit.” kata Raufik bersedih. Ia tidak menyangka walaupun ibu sedang sakit ibu memaksakan diri memasak sayur dan lauk kesukaannya, meski harus dibantu oleh adik perempuannya.

Raufik semakin mendekat. Ia masih ingin berlama-lama di dekat ibunya. Dipeluknya tubuh ibunya untuk melepas rindu. Ibu mengusap rambut Raufik. Pipinya basah oleh air mata.

Rindu Raufik pada ibu yang lama tak dijumpainya telah terbayarkan oleh perjumpaan itu. Raufik akhirnya menyadari kekeliruannya selama ini.

Tuhan, terimakasih engkau telah memberikan waktu untuk bertemu ibuku sebelum aku menyesal karena tidak dapat menemuinya lagi… kata Raufik mengucap syukur.

#

Fiksi Islami ini ditulis oleh :: Nisya Rifiani / February 2012 ‒