15 Jan 2012

FIKSI : KETULUSAN HATI MADINA


KETULUSAN HATI MADINA
-Nisya Rifiani-

Kejadian yang mengerikan itu akhirnya tak terelakkan lagi. Kecelakaan lalu lintas, antara sebuah honda jazz yang tak sengaja menabrak sepeda motor butut tahun 70-an. Sang pengendara mobil nampaknya hanya pingsan saja di dalam mobilnya. Namun keadaan yang lebih parah menimpa pengendara motor yang tertabrak. Tubuh laki-laki itu terkulai lemah tak sadarkan diri. Dari kepalanya mengucur darah segar. Kaki kanannya bengkok, menandakan tulangnya tak terpasang lagi pada tempatnya. Orang-orang yang berada disekeliling tempat itu segera berdatangan, menciptakan kerumunan manusia. Ada yang menghampiri untuk menolong, sebagian lagi hanya ingin menonton.

Madina dan kedua temannya yang baru saja pulang dari berbelanja di mall turut menyaksikan kejadian tersebut secara langsung. Mereka tak lagi dapat menahan rasa ngeri dan ketakutan. Meski tak mengalami, namun secara psikologis terdapat trauma dalam diri ketiga gadis tersebut. Segera mereka pergi dari tempat kejadian itu. Pulang ke rumah masing-masing dan menenangkan diri.

#

“Hei, hei, tunggu… Kamu Annie kan?”

“Hei… bukankah kamu Kak Madina?”

Madina mencegat seorang gadis bernama Annie, ketika keluar ruang kuliah pada jam terakhirnya.

“Jangan panggil ‘kak’ dong! Aku sebenarnya satu angkatan denganmu, jadi lebih tua hanya karena orang tua-ku terlalu cepat satu tahun memasukkanku dalam usia sekolah.” kata Madina.

“Ahaha, iya. Ada apa, Madina?” tanya Annie.

Terseruak kembali dalam pikiran Madina. Matanya yang memejam mengingat kejadian kecelakaan yang ia saksikan tempo hari. Ditengah kericuhan itu, ketika semua apatis, ketika tak seorang pun peduli, seorang perempuan muda dengan hijab yang menutupi hampir seluruh tubuhnya dengan berani memulai mengajak penonton untuk menolong korban kecelakaan itu.

Orang-orang itu kemudian tergerak membantu perempuan itu untuk menjadi penolong. Pelan-pelan mengangkat tubuh korban ke pinggiran jalan – juga yang berada di dalam mobil. Sebagian mengamankan kendaraan yang telah rusak itu, sebagian lagi membantu mengatur lalu lintas yang tak sadar terlalu cepat menjadi padat.

Perempuan itu mengatakan ia sudah menelepon rumah sakit – dan benar tak lama terdengar bunyi sirine yang mendekat dan semakin mendekat. Petugas medis dengan hati-hati memindahkan korban ke dalam mobil ambulans putih itu. Perempuan itu pun tak segan membantu mereka. Tak memperdulikan kerudung krem-nya yang terkena noda darah. Turut memperjuangkan nyawa orang lain yang bahkan tak dikenalnya. Gadis tulus itu adalah Annie…

Bagaimana mungkin seseorang begitu peduli dengan orang lain???
Itulah yang membuat Madina begitu tertarik dengan Annie.

“Ah, nggak apa-apa.” kata Madina akhirnya. “Ada yang nggak kumengerti di mata kuliah ‘ini’. Aku rasa kamu cukup jago, sebenernya aku mau minta tolong untuk ajarin kamu. Gimana, bisa nggak?” tanya Madina lagi.

“Jago? Masa’ sih? Mendingan kita belajar bersama-sama saja.” kata Annie memberikan saran.

“Hmm, baiklah. Nggak apa-apa kok.” Madina menyetujui usul Annie.

“Oke. Kita bisa belajar di kos-ku, lain waktu di rumahmu. Tapi maaf Madina, sore ini aku harus mengajar TPA (Taman Pendidikan Al-Quran) di masjid di dekat kos-ku.” kata Annie. Madina sedikit kecewa mendengarnya. Tetapi ia tidak memaksa Annie.

“Baiklah. Besok aja aku main ke kos-mu.” kata Madina.

“Ya. Sampai jumpa besok, Assalamualaikum.” sahut Annie.

Madina tak menjawab salam Annie, hanya memandang gadis berjilbab itu yang bergegas meninggalkan kampus.

Hari berikutnya, Madina menemui Annie di kampus seusai kuliah paginya. Kebetulan keduanya tidak ada jadwal kuliah lagi di siang harinya. Segera mereka menuju ke kos Annie untuk belajar bersama.
Benar saja, Annie memang jago dalam perhitungan kalkulus lanjutan. Annie ternyata juga mahir mengajar. Jadi Madina tak kesulitan menerima penjelasan Annie.

Madina semakin sering saja bermain ke kos Annie. Annie sesekali juga berkunjung ke rumah Madina. Rumah yang cukup besar itu hanya ditinggali oleh Madina seorang diri saja. Pembantu hanya datang pada pagi hari untuk membersihkan rumah, dan pulang di siang harinya. Ayah Madina rupanya seorang pengusaha di bidang properti. Ibunya berkerja di sebuah perusahaan swasta. Keduanya tinggal di Ibu Kota. Mencari nafkah, adalah alasan yang menjadikan keduanya tak bisa menemani Madina yang tengah menuntut ilmu di kota pelajar ini. Madina tak punya saudara kandung, jadi ia terbiasa melakukan semuanya sendiri.

Kasihan Madina, ia pasti sangat kesepian… kata Annie dalam lubuk hatinya.

Kedekatan Madina dengan Annie memang dilatar belakangi oleh suatu kepentingan. Namun semakin lama pertemanan mereka tumbuh menjadi sebuah persahabatan. Madina yang tadinya hanya sekedar ingin tahu pun akhirnya merasakan suatu pertemanan yang begitu indah. Annie pun sangat senang mempunyai sahabat Madina.

#

“Seingatku semenjak aku kecil, kedua orang tua-ku selalu sibuk bekerja. Dari pagi hingga malam, bahkan aku sendiri jarang bertemu mereka. Waktuku lebih banyak bersama pembantu, perawat, dan sopir. Aku juga di didik untuk mengikuti berbagai kegiatan, mulai dari sekolah, tambahan pelajaran, dan berbagai les keterampilan. Soal agama, aku sama sekali tak diajarkan. Sejak dulu, aku tidak menyukai diriku. Selalu bingung takut dibenci oleh orang lain. Di kampus aku tidak bisa mengeluarkan pendapatku sendiri, akhirnya aku hanya bisa mengikuti teman-temanku saja. Dimana pun aku selalu sendirian.” suatu kali Madina mencurahkan isi hatinya kepada Annie.

“Kamu selalu terlihat ceria dan tegar di balik semua itu, Madina. Sekarang, ketika sudah dewasa carilah jati diri kita sendiri tanpa navigasi orang lain. Baiklah, sekarang katakan kepadaku. Belajar bersama itu tadinya cuma kamuflase, kan?” tanya Annie tanpa bermaksud menginterogasi.

“Benar. Sebenarnya, pada awalnya aku hanya tertarik dengan kepribadianmu – yang sangat aneh, menurutku. Ada apa dengan gadis ini, mengapa ia mau berbuat seperti itu, pada kecelakaan waktu itu. Ingat?”

“Ya, sesama muslim harus saling membantu, Madina. Waktu itu aku hanya berfikir, bagaimana cara menyelamatkan satu saudara kita.”

“Annie, aku agak malu untuk meminta bantuanmu. Tolong ajarkan kepadaku bagaimana caranya sholat dan membaca Al-Quran.” kata Madina. Annie terkejut sesaat dengan permintaan Madina yang tiba-tiba itu. Namun ia segera menyambutnya dengan respon yang positif.

“Alhamdulillah. Tentu, tentu saja Madina. Aku akan mengajarimu. Kewajiban seorang muslim untuk membantu saudaranya yang butuh pertolongan.” jawab Annie mantap, tanpa bermaksud menggurui.

“Terima kasih.” ucap Madina sembari tersenyum.

Annie mulai mengajari Madina gerakan-gerakan sholat, bacaan-bacaan sholat. Huruf-huruf Al-Quran, ayat-ayat Al-Quran. Annie meminjami buku-buku religi yang dimilikinya, dan mengajak Madina berdiskusi agama.

Madina bahkan kini mulai mengikuti kegiatan keagamaan, meski terbatas di lingkungan kampus dan di sekitar kos tempat Annie tinggal.

#

“Hei… mengapa kau memandangku seperti itu?” tanya Annie kepada Madina.

“Aku selalu berfikir, walaupun sekarang aku sudah bisa sholat dan mengaji namun ternyata masih ada yang membedakan kita.”

“Apa itu?”

“Pakaian kita.”

“Ada apa dengan pakaian kita?”

Madina menaikkan bahunya. Memandang pakaian ‘sipil’ nya yang memperlihatkan tangan ‒ kakinya, tanpa penutup kepala pula. Lalu membandingkannya dengan pakaian hijab milik Annie. Annie langsung mengerti apa maksud Madina.

“Iya, yang seperti engkau tahu. Ini adalah hijab ‒ jilbab. Jilbab adalah busana wanita muslim, dan memakai jilbab termasuk dalam hukum Islam yang tertera dalam Al-Quran suci dan merupakan sunnah Rasulullah SAW. Dasar hukum Al-Quran : QS. An-Nur 24 : 31* dan QS. Al-Ahzab 33: 59**. Sedangkan dasar hukum Hadist adalah sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Imam Malik, Tarmidzi, Abu Dawud, Bukhori Muslim, dan masih ada yang lain.”

Pelan-pelan Annie menjelaskan kepada Madina. Madina semakin tertarik saja, pada Annie, pada ajaran agamanya. Melibatkan diri dalam kehidupan Annie tentu bukan kesalahan. Malahan, membuat Madina semakin menyadari betapa kurangnya pemahamannya terhadap agamanya sendiri. Kini selagi masih ada waktu baginya, kesempatan belajar mendalami agama tak pernah ia sia-siakan.

Annie begitu menginspirasi. Bagi Madina, Annie bukan hanya sekedar teman. Annie bahkan menjadi sahabat, saudara, dan guru terbaik yang dimiliki oleh Madina.

#

Tok! Tok!
Pintu kamar kos Annie diketuk seseorang.

“Assalamualaikum…” terdengar suara renyah perempuan, Madina rupanya.

“Wa’alaikumsalam…” Annie menjawab salam dan buru-buru membukakan pintu.
“Madina? Subhanallah… cantik sekali…” kata Annie.

Annie merasa sangat takjub melihat Madina. Madina bertamu ke kos Annie menggunakan baju hijab. Jilbab yang menutupi dada. Madina tersipu-sipu, tampak masih agak malu – canggung.

“Aku belajar untuk mengetahui hikmah menutup aurat. Mengenakan jilbab untuk kesenangan Allah SWT, daripada kesenangan syetan. Bukankah seperti ini kesenangan Allah? Inilah jati diri yang akhirnya kupilih, Annie.” kata Madina.

“Saudariku tersayang, apabila kau benar-benar jujur dan tulus dalam menjalani sesuatu dan berusaha, kau akan menemukan ribuan tangan kebaikan siap membantumu dan Allah SWT akan membuat segala permasalahan mudah untukmu.”

Kemudian senyum kedua gadis itu pun terkembang…

Sungguh, meski kecelakaan itu merupakan tragedi tetapi menjadi anugerah tersendiri bagi Madina.

Alhamdulillah… :)

#

Fiksi Islami ini ditulis oleh :: Nisya Rifiani / Januari 2012 –

- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -

Referensi
Al-Quran & Hadist
Artikel : Jilbab, Busana Wanita Muslim – 10 Alasan Tidak Mau Pakai Jilbab / Pernikahan Islami

- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -

* “Katakanlah kepada wanita yang beriman, agar merekapun menundukkan dan memelihara anggota kemaluannya. Janganlah mereka memperagakan perhiasannya, kecuali perhiasan luar yang sudah biasa kelihatan saja. Dan hendaklah mereka menutupkan kerudung kepalanya sampai ke dadanya. Dan jangan pula mereka memperagakan kecantikannya kecuali kepada suaminya, atau ayahnya, atau ayah suaminya, atau putera-puteranya, atau putera-putera dari suaminya, atau saudara-saudaranya, atau putera-putera dari saudara laki-lakinya, atau putera-putera dari saudara perempuannya, atau wanita-wanita Islam, atau hamba-hamba sahaya mereka, atau pelayan-pelayan laki-lakinya yang bebas rasa berahi atau anak laki-laki yang belum mengerti apa-apa tentang aurat perempuan. Selanjutnya, janganlah mereka menghentakkan kakinya ke tanah untuk menarik perhatian orang dengan gemerincing bunyi gelang perhiasannya yang tersembunyi. Dan bertaubatlah kalian semuanya kepada Allah hai orang-orang yang beriman, semoga kalian beruntung.” (QS. An-Nur 24 : 31).

** “Hai Nabi! Katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang-orang mukmin, supaya mereka menutup tubuhnya dengan kain jilbabnya ketika mereka keluar rumah. Dengan demikian mereka lebih mudah dikenal kesusilaannya, supaya tidak diganggu orang jalanan, dan Allah Maha Pengampun dan Penyayang.” (QS. Al-Ahzab 33: 59).

13 Jan 2012

FIKSI : SERATUS ORANG KURANG SATU

-Nisya Rifiani-

Alan tersadar secara tiba-tiba. Matanya membelalak lebar, dadanya menekan ke bawah, menahan napas yang sesak. Rasa sakit itu yang membuatnya terbangun. Diaturnya napasnya pelan-pelan, dan sesaat kemudian berangsur-angsur normal. Ia memerhatikan sekelilingnya, serba putih. Rupanya ia tengah berada disebuah ruang rawat di rumah sakit. Tak terlihat seorang pun yang menungguinya.

Ia lalu duduk di sisi ranjang tidurnya, memegangi kepalanya.
“Apa yang terjadi…?” gumamnya pada diri sendiri, sembari mengingat-ingat apa yang telah terjadi padanya.

“Oh, kecelakaan mobil itu…” kenangnya. Rupanya sebuah tabrakan mobil yang menyebabkan ia berada di rumah sakit itu sekarang. Mata Alan memejam, berusaha memutar kembali rekaman peristiwa dalam ingatannya.

Siang itu, pada batas waktu dzuhur…
Alan baru saja bangun dari tidurnya. Ia meraih ponselnya, satu short message service tertera di layar gadget-nya itu. Radit, mengajaknya hang out malam ini. Alan tersenyum saja dan segera membalas sms Radit. Ia menyetujui ajakan Radit, ia lalu bersiap-siap karena sebentar lagi Radit akan menjemputnya.

“Kamu udah sholat ashar belum, tadi kayaknya kamu juga nggak sholat dzuhur deh. Habis dari tadi kamu molor mulu.” ujar mama ketika Alan turun dari kamarnya di lantai 2.
“Nanti, ma. Alan sholat ashar-nya di jalan aja.” jawab Alan sekenanya.
“Nanti kamu juga jangan lupa sholat maghrib. Langsung lanjut isya’ sekalian, biar tenang dijalan.” kata mama lagi.
“Iya, ma. Nggak usah bawel deh.”
“Jangan bilang mama bawel deh.”
“Udah deh ma. Itu Radit udah jemput. Dah mama...” sahut Alan yang kemudian berlalu tanpa basa-basi. Mama hanya geleng-geleng kepala.

Mobil Radit menunggu di halaman rumah Alan. Ketika Alan mendekat, Radit menurunkan kaca mobilnya. Alan sedikit menunduk untuk melihat ke dalam. Terlihat Radit di bangku sopir, Bara disampingnya. Dibelakang, Yoga dan seorang gadis manis tengah melipatkan kakinya, memperlihatkan kedua pahanya yang mulus. Belakangan ia mengenalnya dengan nama Shinta.

“Mau kemana kita?” tanya Alan.
“Masuklah dulu.” kata Radit.
“Kita putar-putar dulu aja. Senang-senang dulu. Lihat, ada mainan baru.” kata Bara sambil mengangkat jempolnya, mengarah ke bangku belakang. Shinta, gadis yang dimaksud hanya tersenyum-senyum saja.
“Setelah puas, baru kita ke klub malam.” sambung Yoga.
“Oke.” Alan memasuki mobil dan mengambil tempat duduk di sebelah Shinta.

Sepanjang sore itu Alan dan teman-temannya menyusuri jalan-jalan pinggiran ibu kota. Kehadiran Shinta menambah semarak acara jalan-jalan mereka. Apalagi gadis itu tampak tak malu-malu lagi untuk memeluk, mengecup, mencium, mencumbu, bahkan bermesraan dengan Alan dan teman-temannya.
Menjelang malam, mereka memarkirkan mobil di sebuah klub malam terkenal, sebuah pilihan dari sekian banyak klub-klub malam yang ada di Jakarta. Memasuki tempat dugem itu, langsung saja mereka menikmati meriahnya pesta hedonisme. Menegak aneka minuman beralkohol. Menari hingga pagi menjelang.

Saat perjalanan pulang dini hari itu-lah, Radit yang tengah terpengaruh minuman keras tidak dapat mengendalikan mobil yang dibawanya hingga menabrak pembatas jalan raya dengan kerasnya. Mobil yang mereka tumpangi terguling-guling, dan terseret sejauh seratus dua puluh meter. Radit yang menjadi sopir, Bara yang ada di sampingnya, serta Alan, Shinta dan Yoga yang duduk di bangku belakang langsung tak sadarkan diri.

Setelah sedikit memaksakan otaknya bekerja lebih keras merangkai potongan-potongan memori itu, akhirnya Alan dapat mengingat seluruh kejadian yang menimpanya.

Alan bangkit dari ranjangnya. Tubuhnya terasa ringan. Aneh, padahal luka-luka di beberapa bagian tubuhnya seharusnya menimbulkan rasa yang luar biasa sakit. Alan menuju ke pintu, hendak keluar ruangan. Tiba-tiba ia dikejutkan oleh seseorang – tidak ia kenal. Tubuh orang itu memancarkan cahaya putih kuning, silau.

“Siapa itu?” tanya Alan. Ia mengangkat tangannya ke atas, berusaha menghalangi cahaya yang menyorot tepat ke matanya.

Orang tadi berjalan mendekat. Sosoknya tegap. Pakaiannya longgar serba putih. Namun wajahnya tetap tak terlihat jelas karena banyaknya cahaya yang memancar dari tubuhnya.
“Lihatlah dirimu.”  kata ‘manusia cahaya’ itu.

Alan membalikkan badan, dan kembali terbelalak melihat tubuhnya sendiri sedang terbaring di atas ranjang reot rumah sakit. Raganya terkulai lemas. Sebelah kelopak matanya membuka sedikit. Kain perban melingkari kepalanya. Terdapat luka-luka pada beberapa bagian tubuhnya. Selang infus menancap dipunggung tangan kirinya. Alat bantu pernafasan dipasangkan pada mulutnya. Terdapat alat digital yang dapat memperlihatkan aktivitas jantung dan pernafasannya. Di samping ranjangnya berdiri tabung oksigen besar berwarna biru.

“Apa kamu malaikat?” tanya Alan. Si ‘manusia cahaya’ hanya menggeleng.
“Apa yang terjadi? Apa aku mati?” tanya Alan lagi.
“Belum.” jawab ‘manusia cahaya’.
“Koma?”
“Ya.”
“Lalu, apa yang sebenarnya terjadi?”
“Kau sedang berada di ambang batas. Seratus orang yang malam ini mendoakan kesembuhanmu, akan membantumu untuk bisa ‘hidup’ kembali. Waktunya hanya tiga jam saja. Dan aku akan menemanimu selama waktu itu.”
“Kalau tak sampai seratus, apa yang akan terjadi?”
“Kau akan mati.”

Alan kemudian pergi bersama ‘manusia cahaya’ itu . Mencari seratus orang yang mendoakannya malam itu. Dimulai dari lingkungan terdekatnya…

Rumah Alan, gelap dan sepi… tak ada satu pun lampu yang menyala. Jelas tak ada orang di dalamnya. Alan terlihat kecewa. Lalu Alan dan ‘manusia cahaya’ berlalu meninggalkan rumah. Namun sayup-sayup ia mendengar sebuah doa, asalnya tak jauh dari rumahnya.

Ibu Yani, janda separuh baya yang tinggal di seberang rumahnya, yang tak pernah ia hiraukan.
Satu orang…

Alan bergembira sedikit. Ia kembali melakukan perjalanan.

Amin, seorang pemuda pengangkut sampah yang selalu dilecehkannya karena lebih miskin darinya.
Dua orang…

Dara, gadis dari masa lalunya, yang sangat mencintainya namun ditinggalkannya secara tidak layak.
Tiga orang…

Mang Cecep, pesuruh sekolah yang kerap ia bully semasa sekolah dulu.
Empat orang…

Aling, sepupunya yang selalu ia paksa untuk menuruti semua keinginannya.
Lima orang…

Dan seterusnya…
Alan dan ‘manusia cahaya’ terus berkeliling mencari orang-orang yang mendoakan kesehatan Alan.

Sembilan puluh tujuh…
Sembilan puluh delapan…
Sembilan puluh sembilan…

“Waktunya habis. Sudah saatnya kita kembali.” kata ‘manusia cahaya’ itu.

Sembilan puluh sembilan orang. Seratus orang kurang satu. Sudah banyak, tetapi jumlah tak genap tetap tak dapat menyelamatkan hidupnya.

Muncul serentetan penyesalan dalam hati Alan. Teringat betapa ia telah menyia-nyiakan kehidupannya dengan hal-hal yang tak berarti, yang selama ini ia lakukan. Ia sudah terlalu banyak berbalut dosa. Membangkang orang tua. Menghabiskan harta mereka. Menyakiti orang-orang disekelilingnya.
Menikmati minuman keras. Bermain-main dengan banyak wanita. Semuanya hanya hura-hura dan euforia di dunia fana yang ini. Apa lagi baktinya kepada Tuhan Yang Maha Esa? Sama sekali tak ada cacatannya dalam sejarah kehidupan Alan. Orang-orang yang tengah mendoakannya justru berasal dari kalangan yang kerap ia remehkan, ia kucilkan, ia lecehkan, dan ia sakiti. Ia merasa amat malu. Kini, ia lebih mengerti betapa berharganya hidup sebagai orang yang bertanggung jawab.

Alan dan ‘manusia cahaya’ kembali ke rumah sakit tempat Alan dirawat. Ketika Alan sampai di ruangannya, lagi-lagi sebuah pemandangan kembali mencengangkannya. Terlihat mama duduk tertunduk di tepi ranjang reot tempat Alan dibaringkan. Tangan kanan mama memegang Al-Quran, rupanya telah dibukanya halaman demi halaman. Sedang jemari tangan kirinya menggenggam tasbih. Mama tampak kelelahan. Rupanya mama terus berdoa untuk Alan. Meski lirih, doa mama terdengar tulus.

“Alan, doa dari ibumu adalah yang doa yang terakhir. Doa itu-lah yang kini dapat menyelamatkanmu.” kata ‘manusia cahaya’ itu.

Si ‘manusia cahaya’ menjauh pelan-pelan, semakin lama semakin menghilang. Cahaya putih kuning itu pun sirna secara perlahan. Berganti dengan keremangan, semakin lama semakin gelap. Dan akhirnya kegelapan itu membutakan mata Alan. Hitam.

Saat Alan membuka mata, ia kembali melihat cahaya putih kuning itu. Oh, rupanya hanya pendar cahaya lampu neon yang bercampur dengan warna matahari senja yang berasal dari jendela kamar yang tak tertutup oleh tirai. Sesaat ia hanya memandangi langit-langit kamar, lalu kepalanya menengok kearah samping dan memanggil mama.

“Subhanallah, terimakasih ya Allah… Alan telah membuka matanya!” seru mama tertahan.
“Maafkan Alan, mama…” kata Alan lirih.
“Iya, sayang. Mama udah maafkan kok.” jawab mama.
“Maafkan Alan…” ucapnya lagi.
“Iya, iya… Kamu tenang dulu, mama panggil dokter yang merawatmu…” mama buru-buru berlari keluar ruangan. Matanya berlinang air mata, namun ia berbahagia karena anaknya sadar kembali setelah mengalami koma selama satu bulan penuh.

Alan kembali memejamkan mata. Air matanya mengalir deras. Terbesit taubatan nasuha di hatinya. Ia bertekad untuk memperbaiki hidupnya. Ia sangat bersyukur karena Tuhan telah memberikan kesempatan kedua untuknya. Lebih beruntung dibanding dengan ke-empat temannya yang lebih dahulu tewas dalam kecelakaan maut waktu itu…

#

- Fiksi Islami ini ditulis oleh :: Nisya Rifiani / January 2012 -