21 Nov 2011

FIKSI : SECARIK KEPERCAYAAN

-Nisya Rifiani-

KETIKA pulang dari pengajian ahad sore hari itu, aku tidak lantas buru-buru menuju ke tempat kos. Aku meluangkan waktu sebentar untuk berdiskusi bersama ustadz, yang mengisi pengajian kali itu. Ya, buta akan kajian-kajian islami membuatku haus akan siraman rohani.

Kegerahan itu cukup terobati dengan mencoba mengikuti komunitas dan kegiatan berbasis agama, seperti yang kulakukan saat ini. Baik, setelah mendapatkan jawaban yang aku mau, cukup rasanya untuk mengakhiri diskusi singkat itu. Aku berpamitan kepada ustadz, dan tak lupa mengucap syukron.

Kemudian aku melangkahkan kaki keluar masjid, menuju papan pengumuman di samping beranda masjid. Siapa tahu ada kegiatan menarik yang bisa kuikuti, pikirku.

Papan pengumuman itu cukup lebar untuk mempublikasikan banyak informasi. Tapi, rupanya saat ini belum ada yang up-date. Sedikit kecewa, aku berniat pulang saja. Aku berbalik, terlihat seseorang berdiri disampingku –kurasa ia sudah cukup lama berada disana. Ia lalu bertanya kepadaku, tentang kegiatan-kegiatan di masjid itu. Hmm, kuberikan jawaban yang ia mau.

“Saya Zakaria…” tiba-tiba ia mengajakku berkenalan.
“Bagas…” kataku mengucap nama, singkat.

Seterusnya, hanya basa-basi busuk untuk melengkapi proses perkenalan yang tidak pernah direncanakan itu. Meski enggan, aku berusaha menyambut niatnya itu dengan senang hati.

#

Ah, rupanya aku terlelap beberapa saat.

Saat mataku terjaga, aku mendengar suara agak gaduh, asalnya dari luar. Terdengar pula dua orang lelaki sedang bercakap-cakap. Suara itu milik bapak pengelola asrama, seorang lagi suaranya tak terasa familiar di telingaku. Sesaat hening, terdengar bapak pengelola asrama pergi meninggalkan lantai 2.

Penasaran. Kubuka pintu ruanganku dengan perlahan.
Sungguh suatu kebetulan yang mengejutkan, di depan kamarku berdiri sesosok laki-laki yang tidak asing lagi. Ya, Zakaria. Orang yang pernah berkenalan denganku, satu - dua minggu lalu —ketika kami sama-sama membaca pengumuman di samping beranda masjid. Mau apa dia disini? Pikirku bertanya-tanya.

Oh, rupanya dia cuma mau pindah ke asrama ini. Ya, apa lagi?
Suara gaduh tadi ternyata suara Zakaria yang membawa barang-barangnya ke lantai 2. Agak kesulitan, namun berhasil juga.

Saat pertama kali bertemu dulu, aku memang nenerangkan dan memberitahu alamat kos-ku pada Zakaria. Tetapi aku tak pernah berfikir dan membayangkan di benar-benar muncul. Apalagi untuk menempati kamar kos kosong tepat disebelah kamar kos-ku…

Kepindahan Zakaria ke kamar sebelah membuat suasana asrama semakin manusiawi. Dari sekian banyak kamar yang tersedia di lantai 2, sebelumnya cuma dihuni aku dan Dimas saja, tentu bukan sesuatu yang menyenangkan. Apalagi ruangan dan koridor selalu kurang cahaya, membuat tempat itu remang-remang dan terkesan suram. Hiii… horror…

Balkon lantai 2 yang tak pernah terurus dan jarang digunakan pun kini menjadi tempat nongkrong aku dan Zaka, sapaan akrabnya. Hampir setiap malam ia menemaniku jagongan di beranda itu. Tak jarang kami berbicara hingga larut malam, kadang hingga subuh menjelang.

Kita bicarakan segala hal. Kita bicarakan negeri ini…

Kita bicarakan pemimpin-pemimpin yang korup, yang mengumpulkan kekayaan untuk diri mereka sendiri… Sialnya, bisa-bisanya mereka (masih) berada di puncak kekuasaan untuk membodohi rakyat.

Kita bicarakan masyarakat, yang tak pernah terangkat dari kemiskinan… Namun jarang mendapat perhatian dari mereka yang berada.

Kita bicarakan bangrutnya negara ini, yang sebentar-sebentar mengeluh…

Moral bangsa yang bobrok. Generasi muda yang bodoh.

Ah… begitu banyaknya hingga pikiranku sesak rasanya…

Sebelumnya aku tak pernah menyangka, dengan perkenalan yang singkat waktu itu, atau bahkan bisa kukatakan : tak tulus, membuat aku mengenal sosok Zakaria. Membawa ia datang kepadaku, dan melibatkan hubungan pertemanan. Itu yang namanya berjodoh.

#

Tiga bulan mengenal Zakaria belum merubah fikiranku bahwa Zakaria memang orang yang misterius. Meski kuakui, dia orang yang pintar. Dia orang yang cerdas. Ya, pintar dan cerdas dalam segala bidang. Berpengetahuan dan berpengalaman. Penampilannya memang sedikit berbeda. Baju ngaji yang longgar, celana yang sedikit menggantung, dengan janggut tipis di wajahnya. Itu sama sekali bukan fashion!

Ah, sudahlah. Toh, selama berteman denganku ia selalu baik, nggak neko-neko.

Oh, tiba-tiba aku teringat buku milikku yang dipinjamnya bulan lalu. Ia berjanji akan mengembalikannya minggu ini, tapi ia bahkan tak terlihat hingga bulan ini berakhir. Ah, padahal aku membutuhkan buku itu untuk mengerjakan tugas kuliah.

Dimas melewati lorong di depan kamarku. Segera kucegat dia dengan berondong pertanyaan dari dalam kamarku.

“Hei Dimas, dimana Zaka? Apa kamu melihatnya? Semenjak kemarin dia tak terlihat…” aku bertanya pada Dimas.

Sesaat tak ada jawaban. Kemudian Dimas tiba-tiba saja nongol di depan pintu kamarku dengan ekspresi wajah aneh dan kerut yang berlipat di dahinya.

“Lho… apa kamu nggak mendengar kabar, Gas?” kata Dimas balik bertanya. Aku menggeleng kepala.
“Memangnya ada apa?” tanyaku kemudian.

“Zakaria kabarnya ditangkap Densus 88 tadi malam di Grobokan, Jawa Tengah. Dia dituduh sebagai anggota jaringan teroris Al Qaeda yang dulu kerap latihan perang di Aceh. Katanya dia asisten muda dari seorang komandan sayap kanan jaringan itu. Yah, tangan kanan orang penting… Makanya, dari awal aku sudah curiga. Zaka itu kan orangnya misterius dan tertutup sekali. Dia juga sering memasukkan orang-orang berpenampilan serupa ke asrama. Ngakunya mahasiswa semester akhir tapi sama sekali nggak tau dimana kuliahnya, tidak diketahui asal-usulnya, dimana tempat lahirnya. Jangan-jangan teroris… Aku sebetulnya mau menasehati kamu untuk tidak terlalu “terlibat” dengannya, tapi selama ini belum ada kesempatan. Ketika aku berniat mengatakannya kepadamu dia selalu muncul secara tiba-tiba… Nah, sebentar lagi polisi pasti akan datang memeriksa kamar kosnya dan meminta keterangan kita sebagai saksi. Kita bersiap-siap saja…”

Oh… aku shock mendengar perkataan Dimas… Benarkah semua yang dikatakannya???
Mataku berkunang-kunang, pikiranku melayang-layang, dan tubuhku hampir rubuh…
Ya Allah… semoga orang itu bukanlah Zakaria yang selama ini kukenal… semoga orang itu adalah Zakaria yang lain…

#

- Cerpen Islami ini ditulis oleh :: Nisya Rifiani / November 2011 -

19 Nov 2011

FIKSI : CATATAN HARIAN RAHASIA

-Nisya Rifiani-

February 12th 2010

PSS SLEMAN VERSUS PSIM MATARAM…
Dua kelompok besar persatuan sepak bola di kota Jogja itu kembali dihadapkan pada sebuah pertandingan. Hari ini para penggila sepak bola Jogjakarta, khususnya penggemar dan pendukung dari kedua klub akan disibukkan dengan pertandingan sepak bola itu. Stadion Mandala Krida pasti akan sesak dipenuhi para supporter maupun simpatisan dari kedua kubu. Belum lagi, para pedagang asongan yang turut menjejali tempat laga itu. Jalanan di sekitarnya dipastikan padat merayap.

Ukh… lagi-lagi kesiangan…
Aku terbangun ketika matahari sudah tinggi, itu pun karena berbunyinya nada dering yang menandakan sebuah short message service masuk ke ponsel-ku. Aku belum sepenuhnya terjaga, tanganku meraba mencari dimana ponselku berada. Ketemu! Kubuka inbox dan segera membaca pesan yang baru masuk.

Selamat pagi dunia :)
Hayo bangun uda pagi….

Oh, rupanya itu sms dari Akhi
Aku segera mengirim pesan balasan pada Akhi. Aku berkata padanya, aku sudah bangun. Begitu cepat ia mengirimkan balasan lagi.

Mau ngampus jam brp???
Akhi pngin ktemu bentar aja…

Kubalas lagi, aku mengatakan akan pergi ke kampus pagi ini, tapi tak tahu jam berapa. Akhi mencari tahu apa saja kegiatanku, ia memaksa bertemu denganku hari ini. Dia bilang akan menemuiku di kampus jika pekerjaanku sudah selesai. Aku iya-kan permintaannya.

Aku keluar rumah sekitar pukul sepuluh pagi, sudah sangat siang –sebenarnya. Kendaraanku melaju ke kota, tapi aku tak ke pergi kampus seperti yang kukatakan kepada Akhi tadi. Melainkan menuju ke sebuah perpustakaan umum yang terletak di tengah kota Jogja. Kubuka komputer jinjing yang kupinjam dari Abbi dan mulai mengerjakan artikel yang rencananya akan dimuat di sebuah media massa remaja terkemuka di kota ini. Beberapa lama aku tekun dengan pekerjaanku, aku melirik jam yang tergantung di pergelangan tangan kananku. Setengah dua belas siang. “Akhi jadi menemuiku nggak ya???” tanyaku dalam hati, cemas menantinya.

Kulirik ponsel yang kuletakkan di samping laptop, hampir bersamaan dengan masuknya satu pesan. Akhi lagi… Kubaca, isinya menanyakan aku dimana dan penundaan waktu berjumpa karena Akhi harus sholat jum’at dulu. Aku mengatakan dimana kuberada, dan menyuruhnya tak usah buru-buru menemuiku. Toh, aku tak akan kemana-mana dan tetap menunggunya, di sini.

Akhi datang kepadaku sesaat setelah shalat jum’at berakhir. Saat itu hari sedang hujan. Tak terlalu deras tapi kurasa hujan itu turun di setiap sudut kota, merata, dan tak kunjung berhenti. Akhi datang, memberiku senyum dan langsung mengambil tempat duduk di sebelahku. Seperti biasanya, Akhi selalu memulai pembicaraan terlebih dahulu, mengajakku mengobrol. Selama beberapa lama kami bercengkerama, lalu Akhi mengeluarkan sebuah gelang tangan milikku, berwarna merah yang dihiasi liontin berinisial A ; namaku. Oh… aku mengira sudah menghilangkan gelang tangan itu, rupanya gelang itu tertinggal ketika aku mengantarkan masakan buatanku ke rumah kontrakan Akhi. Akhi bermaksud mengembalikannya. Aku senang menemukannya kembali dan segera memakaikannya di pergelangan tangan kiriku.

Akhi mengamatiku, kemudian mengeluarkan satu benda lagi dari sakunya dan menaruhnya dihadapanku. Sebuah kalung etnic berwarna merah menyala, kesukaanku.

Happy Milad…

Ucap Akhi, sambil memandangku, dan tersenyum… manis… –pikirku…

Sesaat, aku tak mampu berkata apapun. Hanya bisa memandang matanya yang menatapku lembut. Kemudian aku memberikan senyum termanisku hanya untuknya.

Jazakkumullah Khairan Katsir… kataku lirih padanya.

Kukira, Akhi tak ingat peringatan milad-ku hari ini. Kulayangkan kesahku itu padanya. Tapi ia membantah, jelas ia tak melupakan hari lahirku, katanya. Padahal, dalam ingatanku tak pernah sekalipun kuberitahu tanggal dan bulan kelahiranku tapi ia mengingatnya dengan jelas. Mungkin Akhi tahu dari facebook, atau sengaja mengingatnya ketika aku pertama kali memperkenalkan diri dulu, pikirku. Ia panjatkan doa dan harapan untukku. Aku mengamini.

Ia meminta maaf, karena kado ulang tahun untukku tak dibungkus sebagaimana mestinya. Laki-laki sering malas, katanya. Ia kemudian banyak bercerita. Mengisahkan kegiatan-kegiatannya selama kami tak bertemu. Bercerita ketika ia pulang kampung, bercerita ketika ia berlibur ke pulau bali dan lombok, dan bercerita rencana kegiatannya bulan depan. Akhi menawariku makan siang. Sayangnya, Akhi sedang berpuasa, karena ada yang sedang ia inginkan, katanya… Tak kutanya mengapa, itu urusannya dengan Allah. Dan aku enggan mencampurinya.

Akhi bertanya kepadaku, mengapa saat itu aku mengenakan jilbab. Aku tampil manis menemuinya dengan mengenakan jilbab, untuk pertama kalinya selama kami saling mengenal. Kujawab, iseng saja… mulai sekarang adik berniat mengenakan jilbab terus… lanjutku. Akhi memandangku, membuat aku merasa : aneh. “Adik yakin mau pakai jilbab terus???” tanya Akhi. Aku memandang Akhi, tak percaya Akhi tak memercayaiku. Aku enggan menjawab pertanyaannya.

Jam empat sore…
Hujan belum berhenti ketika kami akan beranjak meninggalkan perpustakaan itu. Tapi, kami sudah terlalu lama berada di tempat itu. Maka, kami putuskan untuk pulang. Kemudian bertemu kembali selepas waktu maghrib untuk makan malam bersama. Dengan catatan : kalau tidak hujan.
Kami berjalan beriringan, keluar menuju tempat parkir kendaraan. Akhi tak mengantarku pulang, aku selalu membawa kendaraan sendiri. Lagipula kami pernah sepakat, jika mau berpergian bersama, pakai motor sendiri-sendiri! Nggak boleh berboncengan! Sebuah perjanjian di awal pertemanan, juga sebagai hijab supaya kami tetap bisa menjaga diri dan terhidar dari dosa walau sekecil apapun.

Kami sempat menunggu beberapa menit tetapi hujan tak kunjung reda. Aku ingin segera sampai di rumah, nekat saja aku ingin menembus tirai hujan itu. Aku tak membawa jaket, sedang aku enggan mengenakan mantel hujan. Akhi berniat meminjamkan jaket yang dikenakannya padaku.
“Mau pakai jaket Akhi tidak?” tanya Akhi.
“Tidak…” jawabku sembari menggeleng pelan. Ah, Akhi memang suka bercanda. Dia pasti tahu kalau jaketnya tak akan muat dipakaikan pada tubuhku yang gendut.
“Lihat, jaket Akhi besar.” kata Akhi lagi.
Tapi aku tetap menggeleng dan berkata, tidak…

Syukron, ya Akhi… kataku dalam hati, lagi…

Aku pulang ke rumah dengan hati senang. Kembali melewati stadion yang digunakan sebagai ajang pertempuran dua kesebelasan itu. Ramai. Syukurlah pertandingan belum berakhir sehingga aku tidak terjebak dalam hiruk pikuk supporter hijau biru serta kemacetan yang ditimbulkannya. Sampai di rumah, aku sedikit basah. Kulihat adik laki-laki-ku sedang menonton pertandingan sepak bola. Rupanya duel antar kesebelasan Elang Jawa melawan Laskar Mataram tadi sedang disiarkan secara live di salah satu stasiun televisi nasional. Keduanya sama-sama tak mau mengalah dan berjuang demi hidup-mati tim. Bagi mereka hari itu adalah hari yang berat, meski demikian hari itu merupakan hari yang indah bagiku. Hari yang menggembirakan, karena pada peringatan milad-ku Akhi ada untukku. Hanya untukku. Aku senaaang sekaliii… Alhamdulillah

Syukron, Akhi
Akhi yang menyayangiku… –mmm… kurasa…
(Aku tidak tahu apakah Akhi benar-benar menyayangiku atau tidak???)
Tetapi sampai kapan pun aku akan menyayangi Akhilillahi ta’alaInsyaallah… :) 

#

- Cerpen Islami ini ditulis oleh :: Nisya Rifiani / February 2010 -

17 Nov 2011

FIKSI : LELAKI DALAM KENANGAN SUBUH

- Nisya Rifiani -

KYAAA…!!!

Jeritan pilu seorang gadis muda berkerudung memecah senja jingga kala itu. Rupanya seorang pengendara motor tak sengaja menyerempetnya hingga ia terhempas ke jalanan. Beruntung jalanan itu sepi sehingga tak ada kendaraan lain yang membahayakannya. Gadis itu pun hanya menderita luka lecet di telapak tangannya dan sedikit mengalami shock. Pengendara motor itu berhenti, turun, kemudian segera menghampiri gadis itu.

“Kamu tidak apa-apa?” tanya Sang pengendara motor. Ia bermaksud membantu gadis itu berdiri, tetapi Si gadis segera menepis tangan pengendara motor itu dengan sopan. Tak sengaja mata mereka beradu pandang. Si gadis terpaku melihat bola mata hitam legam milik pemuda yang barusan menabraknya. Sang pengendara motor tak kalah herannya.

“Hei, Nona… Kamu tidak apa-apa?” ulang Sang pengendara motor.
“Ah, tidak… Saya tidak apa-apa.” jawab gadis itu. Bergegas ia berdiri dan membersihkan pakaian muslimnya dari pasir dan kotoran. “Maaf, saya harus segera pergi.” kata gadis itu pada Sang pengendara motor. Begitu cepat gadis itu berlalu dan menghilang di tikungan. Sang pengendara motor tak mampu menahannya, hingga tak sempat mengucap maaf.

Keesokan harinya selepas waktu subuh, di sebuah rumah yang tak jauh dari tempat kejadian perkara. Terlihat seorang gadis yang sedang menyapu halaman dan merawat tanaman. Kemudian datang seorang pengantar koran dengan mengendarai sepeda motornya, menghampiri rumah itu.
“Kamu…” Si gadis mengenali pemuda pengantar koran itu sebagai orang yang tak sengaja menabraknya semalam.
“Oh, ternyata Nona. Saya datang mengantarkan koran dan susu. Ini…” pemuda itu menyerahkan surat kabar pagi dan sebotol susu segar pada Si gadis.
“Terima kasih.” ucap Si gadis.
“Nama saya Raufan.” Pemuda itu menyebutkan nama.
“Raina.” balas Si gadis seraya mengangguk sopan.
“Oh ya, maaf atas kejadian semalam. Saya tak sengaja menyerempet Nona.”
“Tidak apa-apa. Bagaimana dengan keadaanmu sendiri?”
“Saya baik-baik saja. Hanya, kalah taruhan…”
“Taruhan?”
“Ya, balapan liar.”
“Jadi, kamu ikut balapan liar?”
“Ya.”
“Kenapa kamu ikut balapan liar yang berbahaya dan beresiko besar seperti itu?”
“Nona… tahu apa tentang saya? Saya bukan orang berada seperti Nona. Kedua orang tua saya telah meninggal dunia beberapa tahun lalu. Saya adalah anak sulung yang kini menjadi tulang punggung keluarga. Saya harus membiayai diri sendiri dan kedua adik saya yang masih kecil. Kerja paruh waktu di berbagai tempat masih belum cukup untuk membiayai hidup kami bertiga. Padahal saya telah bekerja keras setiap hari. Termasuk menggantikan teman mengantarkan koran dan susu. Dengan satu-satunya sepeda motor yang saya miliki saya mencoba menambah penghasilan dengan ikut balapan liar. Kalau menang, hasil yang didapat lumayan banyak…”
Raina tercengang mendengar pengakuan Raufan. Memang, sudah beberapa kali dalam bulan ini suara motor itu membuat gaduh di tengah malam. Rupanya Raufan pengendaranya.

“Nona jangan memandang saya seperti itu. Meski saya orang tak mampu saya tidak butuh belas kasih dari orang lain.” kata Raufan.
“Maaf. Sungguh saya tidak ada maksud merendahkan siapapun.” balas Raina tulus.
“Baiklah, saya harus berusaha lebih keras lagi.” kata Raufan.  “Nona juga, ya.” Raufan memberikan pesan diiringi dengan senyuman. Lalu bergegas pergi mengantarkan koran kepada pelanggan lainnya. Raina membawa masuk koran dan susu itu ke dalam rumah. Ia lalu segera bersiap-siap pergi kuliah. Takut terlambat di jam pertamanya.

#

Berawal dari rangkaian pertemuan yang tak pernah diduga itu –serta pekerjaan Raufan sebagai pengantar koran, memang menjadikan Raina dan Raufan bertemu setiap hari. Hal itu kemudian membuat Raina begitu tertarik dengan pemuda bernama Raufan itu. Raina tak mengerti mengapa pemuda itu begitu memesona dirinya. Setiap ba’da subuh seusai shalat fardhu ditemuinya Raufan yang datang mengantarkan koran dan susu. Ia begitu menantikan saat kedatangan Raufan. Dimana Raina bisa melihat Raufan dari dekat. Tak jarang Raufan terlihat sedang bercengkerama dengan Raina, bahkan sesekali bercanda bersama. Kesan formal Raufan terhadap Raina pun mencair, berubah menjadi kehangatan dan keakraban. Pemuda itu selalu mengantarkan koran dan susu tepat waktu, dan pergi diiringi dengan senyuman, manis. Kedekatan Raina dengan Raufan pun berjalan seiringan dengan masa.

Raufan memang bukan pemuda yang istimewa. Hanya seorang pemuda yatim piatu biasa. Meski sedikit ugal-ugalan, tetapi Raufan adalah pemuda yang baik, sopan dan taat dalam menjalankan kewajiban. Raufan hanya tinggal bertiga saja dengan kedua adiknya disebuah rumah kontrakan reot yang berjarak beberapa kilometer dari rumah Raina. Rumah itu pun berada di tepi perkebunan apel milik ayah Raina. Baru beberapa minggu ini mereka pindah ke rumah kontrakan tersebut. Untuk mencukupi kebutuhan, Raufan harus bekerja paruh waktu di berbagai tempat. Namun terkadang penghasilan yang didapat masih kurang meski hanya untuk hidup sehari-hari. Raufan pun mesti bekerja ekstra keras untuk menghidupi dirinya sendiri serta kedua adiknya. Raufan… seorang pemuda dengan tanggung jawab besar yang dipikulnya seorang diri. Betapa sulitnya Raufan hidup dengan cara itu, tetap harus menghadapinya dengan tegar. Mempertaruhkan semua yang ia miliki dengan resiko teramat besar, bahkan nyawa sekalipun…

Abah telah lama memperhatikan Raina. Melihat kedekatan Raina dengan Raufan membuat Abah menduga-duga telah timbul rasa antara keduanya. Suatu saat Abah menginterogasi Raina sesaat setelah ia menerima koran dan susu.

“Abah perhatikan wajahmu selalu berseri-seri setelah menerima koran dan susu di pagi hari. Apa karena pemuda itu?” tanya Abah. Raina tak berani menjawab pertanyaan Abah.

“Raina, Abah tak ijinkan kau bersama dengan pemuda ugal-ugalan itu. Abah dengar dari Mang Asep, pemuda itu yang sering balapan malam-malam. Kalau soal jodoh, biar Abah kenalkan kamu dengan putra teman Abah yang sudah pasti sholeh.” kata Abah.

“Tapi, Abah…” Raina memprotes.
“Sudah Raina. Kalau soal ini Abah tak mau ada kompromi.” kata Abah. Raina hanya terdiam mendengar kata-kata Abah.

Raina dibesarkan dalam keluarga Islam dibawah pengajaran bijaksana Abah dan didikan keras Umi. Tentu saja orang tuanya tidak menyetujui hubungannya dengan pemuda tak jelas seperti Raufan. Raina memang ber’ikhtiar dengan Raufan, tetapi ia memilih diam. Memang sulit ketika kita dihadapkan pada dua hal penting, dan harus menentukan pilihan ; antara berbakti pada orang tua atau memilih pemuda yang dicintainya… Raufan pun tak dapat berbuat banyak. Betapapun ia sangat mencintai Raina…

Seperti pagi hari-hari sebelumnya, Raina selalu menunggu Raufan yang mengantarkan koran dan susu. Namun pagi itu Raufan tak terlihat.

“Mmm… mana Raufan?” tanya Raina pada Si pengantar koran yang datang pagi buta itu.

“Raufan sudah nggak nggantikan saya ngantar koran dan susu lagi, Non. Dia balik ke pekerjaannya yang lama.” jawab Si pengantar koran. “Ini Non koran dan susunya. Misi Non…” lanjut Si pengantar koran itu.

“Iya Mang, Makasih…” ucap Raina, tersirat raut kekecewaan di wajah cantiknya.

Sejak saat itu Raina tak lagi melihat Raufan. Raungan balap motor di malam hari itu pun menghilang dan pemukiman kembali menjadi tenang. Meski demikian, Raina sangat kehilangan.

#

Bermingggu lamanya Raufan menghilang dari kehidupan Raina. Hingga malam itu…
Selepas waktu isya’, samar-samar Raina mendengar suara mesin motor Raufan yang khas. Berhenti tepat di halaman rumahnya.

“Raufan…” Raina berbisik tertahan.

Bergegas ia membereskan mukenanya dan segera memakai pakaian yang pantas. Tanpa sepengetahuan Abah, diam-diam Raina membukakan pintu untuk Raufan. Raufan datang mengendarai motornya, lengkap dengan jaket kulitnya yang kini telah koyak. Raufan terlihat pucat. Ada beberapa gores luka di wajah tampannya. Sesekali, ia menyeka darah yang keluar dari lubang hidungnya. Raufan tersenyum tipis ketika Raina membukakan pintu untuknya.

“Naiklah ke atas motorku. Aku akan membawamu jalan-jalan sebentar saja.” Kata Raufan. Raina menyeritkan kening, masih tak mengerti apa maksud Raufan. Ia hanya terdiam. Raufan turun dari motornya dan menghampiri Raina.

“Selama aku mengenalmu, tak pernah satu kali pun aku mengajakmu pergi jalan-jalan. Naiklah dan aku akan membawamu jalan-jalan sebentar.”  lanjut Raufan.

“Ya, tapi bagaimana kalau besok pagi saja. Kurasa hari ini sudah terlalu malam.” kata Raina.

“Kamu tahu? Suasana malam hari yang hitam dihiasi dengan lampu-lampu kota sangatlah indah…” kata Raufan.

“Ya… Tapi Abah…” Raina memprotes.

Raufan kemudian menuntun Raina menaiki motornya. Raina tak lagi dapat mengelak. Sedetik kemudian mereka berdua sudah meluncur ke jalan raya dan melintasi jalanan di pusat kota. Sesekali Raufan memacu motornya dengan kecepatan tinggi. Ngeri juga Raina dibuatnya. Sepanjang perjalanan Raufan tak mengatakan sepatah kata pun. Begitu juga dengan Raina. Keduanya sama-sama membisu. Tetapi bagi Raina, tak ada satu kata kiasan yang dapat mewakilkan kebahagiaannya ketika itu. Raut wajah Raina terlihat sangat senang. Demikian pula dengan Raufan.

Sebelum larut malam Raufan kembali mengantarkan Raina pulang ke rumah. Ketika memasuki pekarangan rumah, terlihat Abah tengah menunggu di beranda rumah. Rupanya Abah sadar Raina tidak lagi berada di kamarnya.

“Apa yang kamu lakukan pada putri saya?” tanya Abah pada Raufan. “Raina, segera masuk ke dalam!” perintah Abah. Raina tertunduk dan bergegas masuk.

“Tunggu…” kata Raufan mencegah, suaranya terdengar parau. Langkah Raina tertahan oleh ucapan Raufan. “Tolong dengarkan sebentar…” lanjut Raufan.

“Saya benar-benar meminta maaf atas kelakuan saya selama ini, terutama apabila mengganggu ketenangan keluarga ini. Namun kali ini saya hanya ingin meminta tolong, untuk menjaga kedua adik saya. Hanya kedua adik saya yang saya miliki di dunia ini.” kata Raufan.

Abah hanya mengangguk-angguk saja tanpa memperlihatkan ekspresi. Sementara Raina mengangguk pelan meski tak sepenuhnya paham akan maksud Raufan. Abah dan Raina masuk ke dalam ruangan, meninggalkan Raufan sendirian di beranda rumah.

Pagi harinya, Raina bermaksud meminta maaf kepada Abah atas kelancangannya semalam.
“Abah pasti marah sekali. Maafkan Raina, Abah…” Raina menunjukkan penyesalannya. Abah menggelangkan kepalanya, pelan.

“Ada apa, Abah?” tanya Raina.

“Tadi pagi-pagi sekali Mang Asep datang membawa kabar…” kata Abah.

“Maksud Abah, Mang Asep penjaga perkebunan apel milik Abah… memangnya, ada kabar apa Abah?” tanya Raina.

Abah menghela napas panjang, seakan sedang menanggung beban yang teramat berat. Perlu beberapa waktu untuk menjawab pertanyaan Raina.
“Pemuda itu telah berpulang ke rahmatullah…” kata Abah kemudian.

Raina tercekat mendengar kabar itu. “Raufan… Innalillahi wa innailaihi rooji’un…” bisik Raina dengan suara bergetar. “Kapan itu terjadi, Abah…?” tanya Raina.

“Kemarin, ba’da maghrib… kecelakaan motor...”
“Ya Allah…”

“Maafkan Abah, Raina…”

Raina semakin ingin menangis. Tetapi ia hanya menangis dalam kesunyian. Menangis tanpa isak dan air mata. Namun, bukankah tangis yang demikian itu merupakan tangis yang paling menyakitkan…

#

Satu minggu setelah berpulangnya Raufan…

“Raina, apa kamu masih ingat kata-kata pemuda itu malam itu?” tanya Abah kepada Raina. “Abah akan menolongnya, sesuai dengan kata-kata pemuda itu.” lanjut Abah.

“Maksud Abah, Abah bersedia mengurus adik-adik Raufan?”

“Ya, tolong bersihkan kamar kosong di lantai 2. Kamar itu akan ditempati oleh adik-adik dari pemuda itu.” Raina seakan tak mempercayai pendengarannya. Abah bersedia mengurus Bagas dan Ayu, adik-adik Raufan.

“Terimakasih, Abah…” kata Raina. Alhamdulillah Ya Allah

Mulai keesokan harinya, kamar kosong di lantai 2 sudah ditempati dua anak manis. Rumah Abah kini dihiasi kecerian adik-adik Raufan. Anak-anak itu begitu tegar. Meski baru saja kehilangan orang yang mereka cintai namun mereka sama sekali tak mau memperlihatkannya pada orang lain. Raina begitu menyayangi anak-anak itu. Begitu juga dengan Abah, dan Umi. Bahkan mereka telah memutuskan untuk mengangkat Bagas dan Ayu menjadi anak mereka. Raina sangat senang, itu berarti adik-adik Raufan akan menjadi adik-adik Raina juga.

“Kak Raina…” Bagas mengetuk pintu kamar Raina.
“Iya, kemari. Ayo masuk, Bagas dan Ayu.” kata Raina. Bagas dan Ayu masuk ke kamar Raina. Takut-takut.
“Ada apa, Bagas… Ayu…?
“Um… ada kartu ucapan yang ditulis Kak Raufan sebelum meninggal.” kata Bagas.
“Kartu ucapan untuk Kak Raina.” lanjut Ayu.
Bagas menyerahkan sepucuk kartu ucapan kepada Raina. Dibuka dan dibacanya kartu ucapan dari Raufan :

Hari ini Raufan masih sayang.
Salam Sayang.
Raufan.

Sunggguh, Raina sangat tersentuh dengan ucapan pada kartu yang ditulis oleh Raufan. Raina mendekap erat Bagas dan Ayu dalam pelukannya. Agar kedua anak itu juga bisa merasakan bahwa Raina sangat mencintai Raufan. Kedatangan Raufan malam itu tetap menjadi misteri. Biarlah peristiwa itu menjadi kenangan bagi Raina. Malam terakhir Raina berjumpa dengan Raufan.

#

- Cerpen Islami ini ditulis oleh :: Nisya Rifiani / January 2011 -

15 Nov 2011

FIKSI : KETIKA AZAN BERKUMANDANG

 - Nisya Rifiani -

BRAKKK!!!

Firdaus menutup pintu mobilnya dengan kasar. Ia bergegas masuk ke dalam sebuah rumah mewah di kawasan elite. Dari dalamnya keluarlah seorang wanita hampir setengah baya. Wajahnya pucat tanpa make-up, menyambut kedatangan Firdaus, anak tunggal yang amat disayanginya.

"Firdaus, kenapa kamu jadi begini, nak?"
Tak menghiraukan pertanyaan ummi, Firdaus menghindar. Ia masuk ke dalam rumah dan merebahkan diri di sofa biru tua di ruang tamu. Dari bibirnya tercium bau alkohol yang sangat menyengat.

"Firdaus..."
Ummi berkata dengan lemah nyaris tak terdengar. Sungguh wanita itu sangat menyayangi putranya.

"Ada apa, ummi...? Apa kau mau menambah penderitaan dan siksa batinku?! Belum puaskah kau dengan rasa perih hatiku?!"
Firdaus menjawab ummi tanpa sopan santun.

"Firda anakku... ummi sangat menyayangimu... tak mungkin ummi gembira dengan semua kesedihanmu..."
Tak kuasa lagi ummi menahan isak tangisnya, merasakan sakit. Lebih menyakitkan dari ditusuk dengan sembilu.

"Ah... Persetan dengan semua itu...!"
Firda berteriak. Tak memperdulikan suaranya yang memecah keheningan malam.

"Ya Allah, bukakan pintu hati putraku agar ia kembali berjalan di jalan-MU... Jangan biarkan ia terjerat di jurang kemungkaran..."
Dalam kesedihannya ummi memanjatkan doa untuk putranya.

"Bohong! Kenapa kau tetap mengatakan kebohongan itu... Mengapa?!"
Firda berteriak tak tertahankan. Ummi semakin pilu melihat kelakuan Firda.

"Bertahun-tahun ummi tega mendustai aku! Kenapa tak kau katakan kepadaku sejak dahulu, bahwa aku ini anak haram, hasil perzinahan, jika kau katakan hal ini sejak dulu, pasti sekarang aku tidak sesedih ini... kenapa ummi?"

Ummi terdiam seribu bahasa.

"Aku selalu bertanya-tanya siapakah ayahku, dimana dia berada... walaupun aku tidak pernah menemukan jawabannya, aku tetap membusungkan dada sebagai Taufik Firdaus. Tak kuperdulikan omongan teman-teman yang mempergunjingkanku dan tetap percaya pada kata-kata ummi bahwa ayah telah menginggal karena kecelakaan sebelum aku lahir. Ah... betapa bodohnya aku mempercayai semua itu! Sekarang, yang kutahu itu adalah kebusukan, kebohongan yang kau ciptakan! Dahulu aku mencintaimu, menghormatimu, menyayangimu dan memujamu... tapi kini semuanya telah berubah, terpecah belah hanyut oleh ombak dusta yang ummi ciptakan sendiri. Betapa kecewanya aku, ummi!"

Kata-kata Firda terhenti.
Firda mengungkapkan segala isi hatinya yang menyesakkan dada, tak lagi bisa ia pendam. Jantungnya berdetak amat keras dan semakin cepat...

Peristiwa yang tak mengenakkan itu, berawal dari pertemuan yang tak pernah disengaja antara Firdaus dengan teman lama ummi semasa kuliah di sebuah universitas negeri ternama di kota pelajar itu. Teman lama ummi mengisahkan dengan jelas mengapa waktu itu ummi tak dapat meraih gelar kesarjanaannya - yang dikarenakan di DO-nya ummi, lantaran ummi hamil di luar nikah. Ayah Firdaus pergi entah kemana, tak mau mempertanggungjawabkan perbuatannya. Ummi yang masih muda itu diusir oleh keluarganya karena telah dianggap membawa aib dan menorehkan arang pada kehormatan keluarganya.

Berita yang begitu tiba-tiba itu tentu saja sangat mengejutkan bagi Firda. Hal itu membuatnya shock dan kehilangan arah. Firda tak dapat menerima kenyataan, apalagi hal itu dilakukan oleh ummi. Firda merasa dibohongi, dibelakangi selama bertahun-tahun membuatnya merasa tak berarti.

Ummi bersimpuh diahadapan putranya.

"Ummi tau, ummi memang bersalah. Tapi, tidak adakah pintu maaf untuk ummi? Demi Allah, maafkan ummi, anakku..."
Ummi meratap.

Firda tak menunjukkan sikap santun, matanya menerawang jauh.

"Ummi memang menjijikkan dan tak pantas jadi ibumu. Namun engkau adalah titipan Allah yang sangat berarti, Firda... Kurelakan semua apa yang aku miliki di dunia ini untukmu, anakku..."
Ummi berkata, masih bersimpuh di hadapan anaknya. Tatapannya sendu, sedih karena harus menerima kenyataan pahit, penolakan dari putranya sendiri.
Luka lama yang telah mengering terkelupas sendiri, namun lebih parah dari sebelumnya.

"AH..."
Firda bangkit dari kursinya dan dengan langkah sempoyongan meninggalkan ibunya dan keluar rumah.

"Aku bosan neraka keluarga ini...!!!"

"Mau kemana lagi kau, nak..."

Tanpa mengindahkan pertanyaan ibunya, Firda tetap melangkahkan kakinya keluar rumah. Firda menyalakan mesin mobilnya, sedetik ia sudah meluncur ke jalan raya. Ummi hanya bisa menatap kepergian anaknya...

"Aku manyayangimu ummi, sungguh... tapi aku malu, dan karena aku ini anak haram..."
Hati kecil Firda berkata, meronta dalam kebimbangan...

#

Sudah sejak tiga hari yang lalu Honda Jazz merah keren itu menyisir jalan-jalan kota pelajar itu dalam kebingungan. Firdaus pengendaranya. Di wajahnya yang lesu terpancar rasa kerinduan kepada ummi.

Firda terhenti di depan sebuah panti asuhan. Para santri terlihat tengah bersiap-siap menunaikan shalat maghrib di sebuah masjid dalam komplek yang sama. Mereka berjalan beriringan sambil bercanda, ada yang melagukan nasyid, yang lain berjalan sambil bertasbih.

Bangkit kembali dalam ingatan Firda tentang masa kecilnya yang ia jalani bersama dengan ummi. Bayangan melewati suka-duka, tertawa dan bercanda bersama. Ummi merawatnya dengan penuh kesabaran dan curahan kasih sayang. Teringat saat itu ummi mengajarkannya shalat, atau menuntunnya membaca doa.

Merenungkan perjuangan ummi ketika saat itu perekonomian belum memadai seperti sekarang. Ummi berjualan kue, menjajakannya dari satu rumah ke rumah yang lain sambil menggendong Firda kecil. Betapa berat perjuangan ummi untuk membesarkan dan mendidik Firda seorang diri dengan staus yang disandangnya.

"Kenapa ummi mau melakukannya? Toh, ummi dapat membuangku... atau menitipkanku di panti asuhan... atau menggugurkan kandungannya... Tapi, mengapa ummi memilih untuk melahirkan bayinya, dan membesarkannya sendirian...?"
Firda mengungkap tanya.

Berkumandangnya azan maghrib itu meluluhkan hati Firdaus yang beku.

"Ya Allah, maafkan hamba-MU ini. Aku telah menjauhkan diri dari-Mu dan durhaka kepada ummi. Maafkan aku ya Allah... maafkan aku ummi..."

Matahari belum tenggelam sepenuhnya, langit masih jingga dan awan masih tegantung di angkasa. Firda melajukan Honda Jazz-nya dengan kecepatan tinggi agar ia cepat kembali ke rumah.

"Ummi, betapa rindunya aku padamu. Aku ingin segera pulang dan meminta maaf kepadamu. Betapapun aku dilahirkan di dunia ini tanpa kehadiran seorang ayah tetapi aku tidak kekurangan kasih sayang..." ungkap Firda penuh penyesalan. Air mata untuk ummi pun terjatuh.

Firda makin melaju dengan kencang.

Tiba-tiba dalam pandangannya terlintas sebuah truk bermuatan penuh. Tak terekam secara jelas dalam ingatannya bagaimana kejadian yang begitu cepat itu. Firda hanya melihat cahaya putih yang menyilaukan mata, dan disusul dengan suara dentuman yang amat keras.

BRAKKK!!!

Firda merasakan beban yang sangat berat menimpa dirinya.

Tak sadarkan diri, dalam keadaan koma ; setengah mati - setengah hidup. Tak ada lagi harapan bagi Firda untuk bertahan.
Ummi mendampingi putranya di sisi ranjang dengan air mata berderai, tak kuasa melihat keadaan putranya yang mengalami kecelakaan parah.

Firda sadar keesokan harinya.

Firda menatap ummi yang menangis tersedu-sedu.

"Assalamualaikum, ummi..."

"Ummi... mengapa engkau menangis...? Afwan... sudah pasti akulah penyebab ummi menangis..."

"Ummi, aku sakit... aku mengantuk..."

"Aku ingin tidur sebentar... afwan, aku tak bisa temani ummi..."

"Ummi, aku melihat keajaiban... Mukjizat Allah, dan Sang Khalik memaafkanku. IA memanggilku. Ummi, maafkan aku..."

Dengan susah payah Firda berbicara beberapa kalimat... Terbata-bata, Firda berkata dengan lemah sambil berbisik, berpamitan kepada ummi.

"Pergilah anakku, sesungguhnya apa yang ada di dunia ini adalah milik Allah SWT..." Ummi berkata ikhlas...

Beduk ditabuh keras-keras ; dan azan maghrib berkumandang di seluruh negeri.
Ketika itu, selembar kain putih menutupi pemuda tampan dalam senyuman yang telah pulang ke rahmatullah.
Taufik Firdaus menghembuskan napas terakhirnya setelah mengucapkan dua kalimat syahadat.

Ummi tetap menjadi seorang wanita yang kuat dan tegar. Berdiri pada kedua kakinya, berpegang tegus kepada Islam dan Allah SWT. Mendoakan putranya dalam setiap shalatnya. Hidup merantau sendirian di dunia ini.

#

- Cerpen Islami ini ditulis oleh :: Nisya Rifiani / November 2004 -